MEDIA DIALOG NEWS, Asahan – Dugaan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan mencuat di Kabupaten Asahan. Perusahaan Terpadu Agrindo Indah Perssada (PT AIP), yang bergerak di bidang pengolahan kelapa sawit (PKS) dan beroperasi di Desa Bandar Pasir Mandoge, Kecamatan B.P. Mandoge, diduga tidak mendaftarkan para buruh dan karyawannya ke BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan.
Kasus ini terungkap ketika seorang buruh mengalami kecelakaan kerja dan tidak mendapatkan layanan medis maupun perlindungan asuransi kecelakaan karena tidak terdaftar sebagai peserta BPJS. Hal ini menunjukkan potensi pelanggaran terhadap prinsip perlindungan teknis dan sosial dalam hukum ketenagakerjaan.
“Kami baru tahu saat rekan kami mengalami kecelakaan kerja. Saat dibawa ke rumah sakit, tidak ada jaminan BPJS. Kami tidak pernah didaftarkan oleh perusahaan,” ujar seorang buruh yang enggan disebutkan namanya, Kamis (10/7).
Lebih ironis lagi, para buruh mengaku gaji mereka dipotong setiap bulan oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PUK PT AIP, namun tidak pernah menerima manfaat jaminan sosial.
“Setiap bulan gaji kami dipotong oleh SPSI PUK PKS PT AIP. Tapi jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan kami justru diabaikan. Kami minta Pemkab Asahan melalui Dinas Tenaga Kerja segera menyelidiki dan menindak perusahaan yang telah mengabaikan hak-hak kami,” tegasnya.
Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, setiap pemberi kerja wajib mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial. Kegagalan untuk melaksanakan kewajiban ini dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda, hingga penghentian layanan publik bagi perusahaan yang melanggar.
Selain itu, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pemberi kerja wajib memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) kepada seluruh tenaga kerja. Ketentuan ini diperkuat oleh Permenaker No. 5 Tahun 2025, yang mengatur pemberian Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebesar Rp600.000 kepada pekerja aktif BPJS Ketenagakerjaan. Jika buruh PT AIP tidak terdaftar, maka mereka juga kehilangan hak atas bantuan tersebut.
Praktik pemotongan gaji oleh SPSI PUK PT AIP tanpa transparansi dan tanpa manfaat jaminan sosial juga menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas organisasi pekerja di tingkat perusahaan. Hal ini dapat dikategorikan sebagai maladministrasi, dan perlu ditindaklanjuti oleh instansi pengawas ketenagakerjaan serta lembaga pengaduan publik.
Ketua SPSI PUK PT AIP, Zulfan, belum memberikan tanggapan saat dikonfirmasi melalui WhatsApp.
Terpisah, Ketua LSM PMPRI Kabupaten Asahan, Hendra Syahputra SP, mendesak aparat penegak hukum untuk segera memeriksa PT AIP atas dugaan pelanggaran hukum ketenagakerjaan dan pengabaian prinsip K3.
“Kami akan menyurati Dinas Ketenagakerjaan agar segera menindak PT AIP karena telah melanggar hak dasar pekerja,” ujar Hendra.
Jika dugaan ini terbukti, maka PT AIP dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 55 dan 56 UU No. 24 Tahun 2011, yang mengatur bahwa pelanggaran terhadap kewajiban pendaftaran BPJS dapat dikenai pidana penjara hingga 8 tahun dan/atau denda hingga Rp.1 miliar, tergantung pada tingkat pelanggaran dan dampak yang ditimbulkan. (Hen-Red)