MEDIA DIALOG NEWS, Kisaran – Pemerintah Kabupaten Asahan melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kembali melayangkan Surat Peringatan Kedua kepada Yayasan Pendidikan Maitreyawira Kisaran atas dugaan pelanggaran ketertiban umum, setelah tembok permanen dibangun di atas jalan lingkungan di Gg. Setia, Lingkungan V, Kelurahan Tebing Kisaran, Kecamatan Kota Kisaran Barat.
Surat bernomor 300.1/1616/Satpol.PP/VII/2025 itu mencatat bahwa teguran pertama yang dilayangkan pada 21 Juli sebelumnya tidak mendapat respons atau tindakan pemulihan dari pihak yayasan. Bangunan tersebut dinilai telah mengganggu akses publik dan melanggar asas keterbukaan ruang serta hak mobilitas warga.
Satpol PP meminta yayasan melakukan pembukaan kembali akses jalan umum secara mandiri demi ketertiban lingkungan dan kenyamanan warga sekitar. Teguran ini diteken langsung oleh Drs. H. Suhendra, S.Sos., Kepala Satpol PP Kabupaten Asahan, dan menegaskan bahwa tindakan lanjut akan diambil bila instruksi pembongkaran tidak diindahkan.
Komentar Tokoh dan Desakan Warga
Masyarakat sekitar menyambut teguran ini dengan harapan besar. “Jalan itu penting untuk aktivitas harian kami. Semoga cepat ditindaklanjuti,” ujar salah satu warga Lingkungan V kepada redaksi.
Sementara itu, Tokoh Melayu Asahan, OK Rasyid, menyuarakan kekhawatiran yang lebih mendalam:
“Pemkab Asahan harus segera mengeksekusi lahan warga yang sudah dijadikan jalan umum namun dikuasai pengusaha non-pribumi. Ini bisa memicu konflik horizontal, apalagi jika tidak ada itikad baik dari pihak pengusaha yang bahkan tidak mengindahkan teguran pertama.”
Rasyid juga meminta Kejaksaan Negeri Kisaran untuk mengusut tuntas dugaan jual beli tanah wakaf yang telah difungsikan sebagai jalan umum, termasuk kemungkinan keterlibatan pihak lurah, kepala lingkungan, notaris, dan pengusaha dalam praktik tersebut.
Tinjauan Hukum dan Moral
Rasyid menilai penutupan akses jalan umum tanpa dasar hukum yang sah bukan sekadar pelanggaran administratif—ia berpotensi mencederai prinsip hak atas ruang publik, yang telah diatur dalam Perda Ketertiban Umum dan UU tentang Penataan Ruang. Bila terbukti berkaitan dengan tanah wakaf, kasus ini bahkan bisa memasuki ranah tindak pidana agraria dan pelanggaran etika keagamaan.
Menurutnya Kasus ini dipandang sebagai cerminan kecil dari soal besar: konflik ruang antara kepentingan privat dan hak publik. Jika tidak segera diselesaikan secara adil, dampaknya bisa melebar menjadi ketegangan sosial yang tidak perlu. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan publik diajak bersinergi menjaga ruang hidup bersama agar tidak dikooptasi oleh kepentingan bisnis yang mengabaikan etika. (Edi Prayitno)