MEDIA DIALOG NEWS, Jakarta — Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, menegaskan bahwa wartawan bukanlah profesi eksklusif yang berdiri di atas kepentingan ekonomi sempit, melainkan peran warga aktif dalam menyuarakan kebenaran, sembari tetap berdaya secara ekonomi. Pernyataan ini merespons fenomena maraknya kecemburuan sosial terhadap wartawan yang juga menjalankan usaha atau memenangi proyek pemerintah.
“Kalau seorang wartawan punya perusahaan, menang tender, dan proyeknya dijalankan sesuai spesifikasi tanpa penyimpangan, lalu apa masalahnya?” ujarnya. “Yang salah adalah jika ada penyimpangan. Maka, laporkan ke polisi, kejaksaan, KPK, atau inspektorat. Hukum yang bicara.”
Pernyataan tersebut sekaligus menanggapi kritik yang kerap dialamatkan kepada pewarta yang berwiraswasta. Ketua PPWI itu menilai, tuduhan-tuduhan tidak berdasar tersebut acap kali muncul bukan karena pelanggaran hukum, tetapi dilandasi iri hati atau kepentingan terselubung dari pihak-pihak yang tak mendapatkan “jatah”.
“Ada yang mungkin tidak diberi jatah preman proyek, akhirnya bikin framing negatif. Ini bukan kritik jurnalisme, tapi justru pemalakan berkedok berita,” katanya dengan nada tajam.
PPWI, lanjutnya, justru mendorong warga menjadi pewarta sekaligus entrepreneur. Wartawan—terutama yang tergabung di PPWI—bisa berprofesi sebagai petani, pengacara, pedagang, bahkan pemilik perusahaan, selama tetap menjalankan fungsi-fungsi jurnalistik secara etis dan bertanggung jawab.
“Kami ingin wartawan tidak bergantung pada ‘amplop’ atau uang dari karya jurnalistiknya. Idealnya, mereka menyuarakan kebenaran tanpa pamrih, sambil tetap punya penghasilan dari usaha yang sah,” jelasnya.
Berbeda dari organisasi pers lainnya yang masih memposisikan kewartawanan sebagai pekerjaan elite yang hanya bisa dijalankan oleh ‘jurnalis profesional’ dengan satu-satunya sumber penghidupan dari media, PPWI membuka ruang bagi pewarta warga untuk aktif menulis dan berbagi informasi tanpa harus menjadikan jurnalisme sebagai profesi tunggal.
“Saya bangga melihat pewarta yang punya warung makan, bengkel, toko daring, kebun sawit, bahkan law firm. Dari situlah dapur mereka mengepul,” tambahnya.
Pernyataan kritis itu diakhiri dengan sindiran tajam terhadap segelintir wartawan yang menyuarakan ‘profesionalisme’, namun ironisnya tidak transparan soal sumber pendapatannya.
“Pertanyaan saya: Anda yang mengaku wartawan profesional tapi tak punya usaha lain, dari mana penghasilan Anda? Dari berita, atau dari tekanan?” tutupnya.
Pernyataan ini menggarisbawahi semangat baru dalam ekosistem jurnalistik warga: kemandirian, integritas, dan keterbukaan. Jurnalisme bukan lagi menara gading, tapi jembatan—antara informasi, keadilan sosial, dan keberdayaan ekonomi. (Edi Prayitno)