MEDIA DIALOG NEWS, Luwu – Kasus dugaan penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar subsidi di Desa Karang-karangan, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, kini menjadi sorotan. Aktivitas ilegal ini diduga berlangsung di lokasi yang sangat mencolok, tepat di depan Kantor Desa Karang-karangan.
Kasus ini dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PROGRESS melalui Ahmad, pelapor utama. Ia menuding adanya dugaan keterlibatan oknum aparat dalam melindungi aktivitas ilegal tersebut. Ahmad menegaskan, “Kami datang membawa data dan bukti aktivitas penimbunan BBM subsidi yang dilakukan secara terang-terangan. Tapi narasi yang berkembang justru mengaburkan substansi masalah. Ini mengkhawatirkan.” Ujarnya.
Selain itu, Ketua Distrik LSM GMBI Luwu, Andi Wahab, mengkritik Polsek Bua yang dinilai sengaja menutup mata terhadap kasus ini. Ia menyatakan, “Anehnya, Polsek Bua seolah menutup mata. Ini mencurigakan dan harus diusut.” Imbuhnya.
Informasi yang didapat media ini bahwa Laporan pertama diterima Satreskrim Polres Luwu pada Kamis, 17 April 2025. Dugaan aktivitas penimbunan solar subsidi sendiri berlangsung di Dusun III Desa Karang-karangan, Kecamatan Bua, yang hingga kini menarik perhatian publik karena sifatnya yang terang-terangan.
Kritik keras dilayangkan karena penyidik dianggap lamban dalam menangani laporan. Pada saat klarifikasi, penyidik justru menyebut lokasi tersebut hanya sebagai “bengkel perorangan,” sebuah pernyataan yang menuai protes dari Ahmad.
Ketua LSM Aspirasi, Nasrum Naba, menilai pernyataan tersebut mengaburkan fakta. Ia menyebut, “Kalau bengkel pribadi bisa jadi tempat penimbunan BBM subsidi, lalu hukum mau dibawa ke mana? Ini jelas pelanggaran berat.” Ucapnya.
Ahmad juga mengaku telah mengantongi bukti tambahan yang menunjukkan dugaan keterlibatan oknum aparat kepolisian dalam membekingi aktivitas ilegal tersebut. Ia menegaskan, “Ini bukan sekadar pelanggaran biasa. Kalau benar ada oknum aparat yang ikut bermain, maka ini sudah masuk kategori kejahatan terorganisir.” Katanya.
Kasus ini melibatkan pelanggaran serius terhadap Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang ini menetapkan ancaman pidana hingga enam tahun dan denda maksimal Rp60 miliar bagi pelaku. Pertanyaan kini mengemuka: apakah penyidik akan bersikap tegas dan profesional, atau justru tunduk pada tekanan yang melingkupi kasus ini? (Red)