MEDIA DIALOG NEWS, Kisaran — Di sudut-sudut Jalan Budi Utomo Mutiara Kisaran, kehidupan berdenyut dalam bentuk paling sederhana: pedagang kaki lima. Mereka hadir dengan gerobak kayu, meja reyot, terpal seadanya, dan cahaya lampu redup yang menyalakan bara perjuangan.
Mereka bukan sekadar menjajakan gorengan, kopi panas, sayur-mayur, atau pakaian murah meriah. Mereka sedang mengangkat lusuh ekonomi rakyat, menambal celah penghidupan di tengah kerasnya zaman.
Bagi sebagian orang, keberadaan pedagang pinggir jalan mungkin hanya dianggap mengganggu lalu lintas atau merusak kerapian kota. Namun bila ditilik lebih dalam, di balik lapak-lapak sederhana itu sesungguhnya ada benteng kecil yang menahan gejolak sosial. Pedagang memberi ruang kerja bagi mereka yang tak terserap lapangan formal. Ia mengurangi pengangguran yang berisiko melahirkan tindak kejahatan jalanan.
Sebelum geliat dagang ini tumbuh, begitu sering terdengar kabar perampasan, pencurian, atau kenakalan jalanan yang menakutkan warga. Kini, para pedagang justru menjadi peredam, karena tangan-tangan yang dulu bisa saja nekat melakukan kriminal, kini sibuk mencari nafkah halal.
Pedagang tidak sedang berebut hak milik. Mereka paham, tapak jualan itu bukan tujuan mulia mereka. Yang mereka inginkan hanya sebidang ruang negeri, meski sekadar sepetak trotoar atau halaman kosong, untuk menegakkan harga diri dan memberi makan keluarga. Bagi mereka, selembar rupiah yang didapat dari keringat sendiri jauh lebih berharga daripada seribu lembar uang yang diperoleh dengan cara curang.
Kita sering bicara tentang ekonomi kerakyatan. Namun di lapangan, justru pedagang pinggir jalanlah yang menjadi wajah paling nyata dari istilah itu. Mereka adalah saksi bahwa roda ekonomi tidak hanya berputar di pusat perbelanjaan modern, tetapi juga di jalanan berdebu, di antara teriakan “ayo mampir, murah meriah!” dan riuh anak-anak kecil yang ikut menjaga lapak orang tuanya.
Mereka menjual barang murah, bukan sekadar karena daya beli masyarakat yang lemah, tetapi karena mereka paham: rakyat kecil sesungguhnya saling menopang.
Namun, ada pilu yang terasa. Lusuh ekonomi rakyat masih sering dipandang sebelah mata. Pedagang dianggap masalah, bukan solusi. Padahal, bila pemerintah mau lebih bijak, keberadaan pedagang bisa ditata tanpa harus dimatikan. Lapak yang teratur, zona khusus berdagang, fasilitas sederhana yang manusiawi—semua itu bukan hadiah, melainkan bentuk penghargaan atas jerih payah rakyat kecil.
Dari Jalan Budi Utomo Mutiara Kisaran, kita belajar satu hal: harapan tidak pernah padam di tengah lusuh kehidupan. Pedagang kecil adalah api yang terus menyala, meski diterpa angin deras ketidakpastian. Mereka mengajarkan kepada kita arti kesetiaan pada kerja keras, sekaligus mengingatkan bahwa negeri ini berdiri bukan hanya di atas gedung pencakar langit, melainkan juga di atas peluh mereka yang berjualan di pinggir jalan.
Kini saatnya kita berhenti melihat mereka sebagai beban, dan mulai mengakui mereka sebagai bagian dari solusi. Sebab setiap lapak yang berdiri adalah satu keluarga yang terbebas dari kelaparan, dan setiap gerobak yang berputar adalah satu peluang kecil untuk mengurangi kejahatan jalanan.
Pedagang pinggir jalan bukanlah masalah kota. Pak Haji Ucok Butar-butar menambahkan dengan suara lirih,
“Mereka bukan minta banyak, hanya sepetak ruang untuk hidup layak. Tapi seringnya dipandang seolah pengganggu. Padahal, justru di gerobak reyot itulah harapan kota ini masih bertahan.” “Merekalah denyut nadi yang menjaga kota tetap hidup.” (Youthma)