Oleh : Youthma All Qausha Aruan
Renungan Bencana dari Sumatera untuk Dunia
MEDIA DIALOG NEWS – Ia tidak datang tiba-tiba. Alam selalu lebih dulu berbisik sebelum ia berteriak. Angin bergeser dari kebiasaan, hujan turun lebih panjang dari biasanya, sungai perlahan meninggi, dan tanah mulai kehilangan kekuatan cengkeramnya. Peringatan dikeluarkan, grafik-grafik ditampilkan, istilah teknis dijelaskan. Namun di tengah hiruk kehidupan modern, bisikan itu tenggelam oleh kesibukan, oleh kebutuhan harian, oleh keyakinan rapuh bahwa semua akan baik-baik saja.
Di pesisir Aceh, di lembah-lembah Sumatera Utara, hingga di perbukitan Sumatera Barat, bisikan itu terdengar dengan dialek yang berbeda, namun membawa pesan yang sama: ada sesuatu yang sedang berubah dalam keseimbangan alam kita. Bahkan kota-kota yang selama ini merasa paling aman, dengan jalan beraspal, drainase beton, dan gedung-gedung kokoh, tak luput dari tanda-tanda itu. Hujan turun bukan lagi sebagai berkah yang lembut, melainkan sebagai hujaman yang membawa ancaman.
Ketika Kota-Kota Ikut Tersungkur
Ketika bencana datang, ia tidak hanya menyasar desa-desa di lereng dan bantaran sungai. Beberapa kota pun ikut tersentak oleh dampaknya. Jalan utama berubah menjadi aliran sungai dadakan, pusat-pusat niaga terendam, kendaraan terseret arus, listrik padam di banyak kawasan. Badai dan hujan ekstrem menghantam dari pinggiran hingga jantung kota, membuktikan bahwa urbanisasi tak pernah benar-benar mampu menjinakkan alam.
Air datang tanpa mengetuk. Tanah bergerak tanpa aba-aba terakhir. Dalam gelap dan panik, rumah-rumah hanyut, jalan terputus, suara minta tolong bersahut-sahutan di antara arus dan reruntuhan. Di beberapa wilayah Aceh, air naik dari sungai dan pesisir hampir bersamaan. Di bagian Sumatera Utara, lereng-lereng yang rapuh melepaskan beban tanahnya. Di Sumatera Barat, hujan panjang mengubah aliran air menjadi arus yang tak lagi bersahabat.
Anak-anak kehilangan tempat berlindung, para orang tua kehilangan sandaran hidup, dan keluarga tercerai dalam waktu yang tak sempat memberi jeda untuk berpamitan. Lingkungan yang sehari sebelumnya hidup oleh langkah kaki dan tawa berubah menjadi bentang lumpur, puing, dan kesunyian yang memekakkan.
Sumatera dalam Cermin Krisis Dunia
Apa yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, termasuk kota-kota yang kini ikut tergenang, bukanlah kisah terpisah. Ia adalah potongan mozaik dari krisis lingkungan global. Di berbagai belahan dunia, banjir datang lebih sering, badai kian ganas, panas kian menyengat, dan tanah kian mudah rapuh. Hutan yang ditebang, sungai yang disempitkan, kota yang tumbuh melampaui daya dukung, semuanya menyatu dalam akumulasi risiko yang kian membesar.
Sumatera, dengan bentang hutan tropis dan pegunungan yang dulu menjadi benteng alami, kini semakin rentan ketika penyangga ekologis melemah. Ketika hujan ekstrem datang, bumi yang telah terluka lebih dulu tak lagi mampu menahan bebannya, bahkan di kawasan urban yang merasa paling siap.
Di Antara Runtuhan, Kemanusiaan Menyala
Namun di tengah kehancuran, cahaya kemanusiaan justru sering tampak paling terang. Dari desa-desa Aceh hingga kampung-kampung di Sumatera Utara dan nagari-nagari di Sumatera Barat, hingga lorong-lorong kota yang tergenang air, tangan-tangan saling menguatkan. Relawan datang melintasi jarak, dapur umum berasap di bawah langit muram, tenaga medis bekerja dengan mata lelah namun hati teguh, dan doa-doa bergema dari berbagai keyakinan.
Di antara puing, genangan, dan lumpur, manusia kembali saling memanggil dengan satu nama yang sama: “sesama”
Bencana Bukan Semata Takdir
Di sinilah renungan itu menemukan kedalamannya. Bencana bukan sekadar peristiwa langit. Ia adalah hasil dari pilihan-pilihan panjang manusia di darat. Hutan yang digunduli demi kecepatan, sungai yang disempitkan demi ruang, daerah resapan yang hilang karena beton, lereng yang dibuka tanpa penyangga, semuanya adalah keputusan yang suatu hari akan meminta pertanggungjawaban.
Alam tidak sedang membalas dendam. Ia sedang menata ulang keseimbangan yang terlalu lama diganggu. Dan ketika keseimbangan itu dipulihkan secara paksa, desa dan kota sama-sama menanggung risikonya.
Pertaruhan Peradaban di Abad Ini
Di sinilah ujian peradaban modern berdiri telanjang. Apakah kita akan terus memperlakukan bencana sebagai urusan darurat sesaat, ditangani dengan bantuan, diberitakan sejenak, lalu dilupakan? Ataukah kita berani menjadikannya cermin untuk mengubah arah pembangunan, menata ulang hubungan dengan alam, dan menempatkan keselamatan sebagai fondasi utama, baik di desa maupun di kota.
Dari Sumatera, Sebuah Pesan untuk Dunia
Hari ini, Sumatera sedang berbicara, dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat; dari lereng, lembah, hingga kota-kota yang kini ikut tergenang. Banjir dan longsor di sini bergaung seirama dengan badai di benua lain, dengan kekeringan di tempat yang jauh, dengan es yang mencair di wilayah yang tak pernah terbayangkan akan mencair.
Antara Berduka dan Berubah
Pada akhirnya, setiap bencana selalu meninggalkan pertanyaan yang sama: apakah kita akan tetap menjadi manusia yang hanya pandai berduka, atau berani belajar dan berubah?
Karena alam selalu memberi tanda sebelum ia mengaum. Dan ketika tanda itu diabaikan, kehancuran menjadi bahasa yang terakhir. Dari Sumatera, dari desa hingga kota, dunia kembali diingatkan: manusia bukan penguasa tunggal bumi, melainkan bagian kecil dari keseimbangan besar yang tak pernah bisa ditawar.



