Oleh: Edi Prayitno (Anggota PPWI)
MEDIA DIALOG NEWS – Kabupaten Asahan telah mengalokasikan lebih dari Rp 7,4 miliar dalam Tahun Anggaran 2025 untuk sektor kesehatan. Di atas kertas, angka ini tampak menjanjikan—sebuah komitmen fiskal yang seharusnya menjawab kebutuhan dasar masyarakat akan layanan medis yang layak. Namun, di balik deretan angka itu, muncul pertanyaan yang lebih mendalam: apakah anggaran sebesar ini benar-benar menyentuh warga yang paling membutuhkan, ataukah hanya menjadi formalitas dalam laporan tahunan?
Salah satu pos belanja yang menonjol adalah Rp 1,5 miliar untuk jasa tenaga kesehatan non kapitasi. Dana ini ditujukan untuk membayar layanan medis yang tidak tercakup dalam sistem kapitasi, seperti tindakan spesialis atau prosedur khusus. Secara prinsip, ini adalah langkah untuk memperbaiki ketimpangan layanan yang sering terjadi di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Namun, tanpa transparansi dalam pelaksanaan dan evaluasi, dana ini berisiko menjadi insentif yang tidak berdampak langsung pada kualitas pelayanan. Banyak warga masih mengeluhkan minimnya pemeriksaan menyeluruh dan terbatasnya akses ke dokter spesialis, terutama di daerah pinggiran.
Di sisi lain, pemerintah juga menganggarkan hampir Rp 3,5 miliar untuk bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi peserta mandiri dan peserta BPJS Kelas 3. Tujuannya jelas: menjamin akses layanan kesehatan bagi kelompok rentan seperti pekerja informal dan masyarakat miskin. Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Banyak peserta yang telah menerima subsidi tetap menghadapi antrean panjang, pelayanan yang terburu-buru, dan keterbatasan obat-obatan. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah subsidi ini benar-benar memperbaiki kualitas hidup, atau hanya menjadi angka pelengkap dalam sistem birokrasi?
Pemerintah juga mengalokasikan Rp 1 miliar untuk pengobatan gratis di luar cakupan BPJS. Program ini seharusnya menjadi jaring pengaman bagi warga yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS atau membutuhkan layanan yang tidak ditanggung oleh skema JKN. Namun, definisi “gratis” sering kali kabur. Banyak warga tidak mengetahui prosedur atau syarat untuk mendapatkan layanan ini. Tanpa sosialisasi yang memadai dan mekanisme pengaduan yang jelas, program ini berisiko menjadi simbol tanpa substansi.
Sementara itu, belanja jasa dokter kontrak sebesar Rp 1,45 miliar menunjukkan bahwa pemerintah masih bergantung pada tenaga medis non-PNS untuk menjaga keberlangsungan layanan kesehatan. Di satu sisi, ini adalah solusi pragmatis untuk mengisi kekosongan tenaga medis di daerah terpencil. Namun di sisi lain, ketergantungan pada sistem kontrak juga mencerminkan kegagalan dalam membangun sistem kepegawaian kesehatan yang berkelanjutan dan bermartabat.
Anggaran besar tidak otomatis berarti pelayanan yang adil. Tanpa transparansi, partisipasi publik, dan evaluasi berbasis kebutuhan riil, belanja kesehatan hanya akan menjadi ritual administratif. Kabupaten Asahan perlu lebih dari sekadar angka—ia butuh keberanian untuk menata ulang sistem kesehatan yang berpihak pada warga, bukan hanya pada laporan. Kesehatan bukan sekadar urusan teknis, melainkan cerminan dari keberpihakan politik dan moral terhadap kehidupan manusia.
Melihat keseluruhan alokasi anggaran kesehatan Kabupaten Asahan tahun 2025, tampak bahwa pemerintah telah menyusun strategi pembiayaan yang mencakup berbagai lapisan kebutuhan masyarakat—dari subsidi iuran JKN hingga pengobatan gratis dan honorarium tenaga medis kontrak. Namun, strategi fiskal ini belum tentu berbanding lurus dengan kualitas dan keadilan layanan di lapangan. Ketimpangan akses, minimnya transparansi, dan lemahnya partisipasi publik dalam pengawasan anggaran menjadi tantangan yang tak bisa diabaikan. Anggaran yang besar tanpa sistem yang berpihak hanya akan memperpanjang jarak antara kebijakan dan kenyataan.
Jika kesehatan benar-benar dianggap sebagai hak dasar, maka belanja publik harus disertai dengan komitmen politik dan sosial yang lebih dalam. Pemerintah daerah perlu membuka ruang dialog dengan masyarakat, memperkuat sistem evaluasi berbasis kebutuhan riil, dan memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan bukan hanya memenuhi target administratif, tetapi benar-benar menyelamatkan dan meningkatkan kualitas hidup warga. Di tengah angka-angka yang mengesankan, pertanyaan paling penting tetap: siapa yang benar-benar merasakan manfaatnya? (**)