MEDIA DIALOG NEWS, Pohuwato– Di tengah gemuruh persiapan Pohuwato Half Marathon 2025, sebuah realitas lain muncul: persoalan lingkungan dan pembangunan di wilayah ini masih menjadi PR besar yang belum terselesaikan. Ribuan pelari akan memenuhi jalan-jalan utama Pohuwato besok (14 Juni 2025), merayakan semangat sportivitas dalam momentum HUT ke-53 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Pohuwato. Namun, di balik optimisme acara ini, sejumlah pihak mempertanyakan apakah perayaan ini hanya menjadi selubung bagi permasalahan yang lebih mendesak.
Aktivis dari Aliansi Mahasiswa Melawan (AMM), Jumardin, menyebut bahwa meski acara ini membawa dampak positif, jangan sampai euforia menutupi fakta bahwa masyarakat Pohuwato masih berjuang menghadapi dampak buruk pertambangan ilegal, ketimpangan pembangunan, dan krisis air bersih.
“Kami bukan menolak kegiatan ini, tetapi tidak bisa menutup mata bahwa ada warga terdampak tambang, akses air bersih semakin sulit, dan kesenjangan pembangunan masih mencolok,” ujar Jumardin, Jumat (14/6/2025).
Tambang Ilegal dan Krisis Air Bersih Jadi Sorotan
Dalam beberapa tahun terakhir, Pohuwato telah menghadapi konflik berkepanjangan terkait pertambangan emas tanpa izin (PETI). Aktivitas ini menyebabkan pencemaran sungai dan mata air, serta memicu degradasi lingkungan. Beberapa warga di Kecamatan Popayato mengaku kesulitan mendapatkan sumber air bersih akibat aktivitas tambang ilegal.
“Kami berharap pemerintah tidak hanya fokus pada pencitraan lewat event besar, tetapi juga turun langsung melihat kondisi kami,” tegas Jumardin.
Di media sosial, respons terhadap acara Pohuwato Half Marathon terpecah. Tagar yang membahas krisis lingkungan dan pertambangan ilegal muncul beriringan dengan promosi event olahraga ini, memperlihatkan polarisasi pandangan publik. Sebagian mendukung marathon sebagai ajang promosi wisata dan olahraga, sementara lainnya khawatir euforia ini hanya mengalihkan perhatian dari isu-isu mendesak.
Ekonomi dan Rekonsiliasi Pembangunan
Gelaran marathon ini memang memberikan dorongan ekonomi bagi pelaku usaha lokal, dari penginapan hingga UMKM. Namun, bagi masyarakat yang terdampak proyek pembangunan besar, manfaat ekonomi ini masih dirasa timpang dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Jumardin menilai acara ini sebagai simbol paradoksal: “Kita merayakan gerakan fisik di alam terbuka, sementara alamnya sendiri sedang tergerus. Ini seperti berpesta di tengah reruntuhan yang tidak terlihat oleh tamu undangan.”
Sejumlah aktivis kini mendorong agar penyelenggaraan Pohuwato Half Marathon tidak hanya menjadi sekadar festival olahraga, tetapi juga momentum aksi nyata bagi lingkungan. Usulan seperti penanaman pohon massal, kampanye sadar lingkungan bagi peserta, hingga transparansi anggaran pembangunan mulai digaungkan.
“Lari boleh cepat, tapi pembangunan harus tepat. Jangan sampai kita terus berlari meninggalkan mereka yang terdampak di belakang,” kata Jumardin.
Antara Kemajuan dan Keberlanjutan
Pohuwato kini berada di persimpangan antara kemajuan dan keberlanjutan. Pohuwato Half Marathon menjadi wajah optimis daerah ini di mata publik, tetapi peringatan dari aktivis dan warga terdampak menunjukkan bahwa pembangunan tidak bisa hanya dinilai dari satu sisi.
Jika dikelola dengan bijak, daerah ini bisa menjadi contoh bagaimana pariwisata, olahraga, dan lingkungan bisa berjalan beriringan. Namun itu semua bergantung pada satu hal mendasar: keberanian untuk mendengar suara-suara yang selama ini terpinggirkan. (Gusram Rupu)