MEDIA DIALOG NEWS – Di banyak daerah, kritik terhadap lembaga pemerintah sering kali disalahartikan sebagai serangan pribadi. Bahkan ketika nama pejabat tidak disebut, reaksi defensif tetap muncul. Padahal, kritik yang dilontarkan media sering kali bersumber dari dokumen publik seperti Laporan Realisasi Anggaran, bukan dari asumsi atau fitnah.
Sebagian pejabat merasa cukup dengan menyatakan bahwa anggaran telah diaudit oleh BPK dan tidak ditemukan pelanggaran. Namun, audit bukanlah akhir dari pertanggungjawaban. Publik tetap berhak bertanya: Kemana uang rakyat digunakan? Apakah manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan bentuk permusuhan, melainkan ekspresi kepedulian warga terhadap tata kelola keuangan daerah.
Sayangnya, pejabat yang arogan justru enggan menjawab secara terbuka. Mereka lebih memilih membungkam kritik daripada meluruskan informasi. Padahal, selama kritik berbasis data dan dokumen resmi, tidak ada alasan untuk menyebutnya sebagai hoaks. Transparansi bukan hanya soal legalitas, tapi soal keberanian menjelaskan dan berdialog dengan rakyat.
Kebebasan Pers dan Hak atas Informasi Publik
Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat melalui media. Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik juga menyatakan bahwa badan publik wajib menyediakan informasi yang relevan, termasuk penggunaan anggaran yang bersumber dari APBD.
Pers memiliki peran strategis sebagai pilar keempat demokrasi. Tugasnya bukan hanya menyampaikan berita, tetapi juga mengawasi jalannya pemerintahan. Ketika media mempertanyakan alokasi anggaran, itu bukan bentuk permusuhan, melainkan bagian dari fungsi kontrol sosial yang sah dan konstitusional.
Menolak menjawab pertanyaan publik tentang penggunaan anggaran justru memperkuat kecurigaan. Pejabat publik seharusnya menyambut kritik sebagai bahan evaluasi, bukan sebagai ancaman. Ketika transparansi dijalankan dengan jujur, kepercayaan publik akan tumbuh. Sebaliknya, ketika kritik dibungkam, demokrasi menjadi rapuh.
Saatnya Berani Menjawab, Bukan Menyembunyikan
Kritik yang berbasis data adalah bentuk partisipasi warga dalam pembangunan. Ia bukan musuh, melainkan mitra dalam perbaikan. Pejabat yang bijak akan menjawab dengan fakta, bukan dengan amarah. Mereka akan membuka ruang dialog, bukan membangun tembok penghindaran.
Jika anggaran telah digunakan dengan benar, maka tidak ada alasan untuk takut menjelaskan. Justru penjelasan yang terbuka akan memperkuat legitimasi dan memperkuat kepercayaan publik. Demokrasi yang sehat tumbuh dari keberanian untuk dikritik dan kemampuan untuk menjawab. (Redaksi)