Oleh: Edi Prayitno – Wakil Ketua I DPK APINDO Asahan
MEDIA DIALOG NEWS – Di tengah dinamika organisasi pengusaha di Indonesia, dua nama besar selalu hadir dalam percakapan strategis: Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Keduanya memiliki sejarah panjang, struktur nasional hingga daerah, serta peran penting dalam membentuk arah kebijakan ekonomi dan ketenagakerjaan. Namun, di lapangan, sering muncul pertanyaan: apakah keduanya saling tumpang tindih, atau justru saling melengkapi?
Pertanyaan ini semakin relevan di tingkat daerah, seperti di Kabupaten Asahan, di mana pengusaha lokal membutuhkan organisasi yang tidak hanya berstatus, tetapi juga berfungsi nyata.
KADIN: Pilar Formal Dunia Usaha
KADIN diatur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1987, menjadikannya satu-satunya organisasi pengusaha yang diakui secara resmi oleh negara. Fungsi utamanya adalah menjadi mitra pemerintah dalam pembangunan ekonomi, investasi, perdagangan, dan industri. Dengan struktur yang menjangkau hingga kabupaten/kota, KADIN memiliki legitimasi kelembagaan yang kuat.
Namun, dalam praktiknya, KADIN sering kali lebih fokus pada agenda makro dan diplomasi ekonomi, yang tidak selalu menyentuh kebutuhan pengusaha lokal secara langsung.
APINDO: Advokat Kepentingan Pengusaha Riil
APINDO, meski tidak diatur oleh undang-undang khusus, memiliki legitimasi fungsional yang kuat. Didirikan pada 1952, APINDO menjadi garda depan dalam isu ketenagakerjaan, hubungan industrial, dan advokasi kebijakan yang berdampak langsung pada pelaku usaha. Di banyak daerah, APINDO menjadi mitra utama Dinas Tenaga Kerja dan forum tripartit.
APINDO bukan sekadar pelengkap kelembagaan, melainkan organisasi yang hadir di ruang-ruang negosiasi upah, konflik industrial, dan pendampingan regulasi usaha. Di sinilah letak kekuatan APINDO: keberpihakan pada pengusaha riil yang berjuang menjaga keberlangsungan usaha di tengah tekanan regulasi dan dinamika pasar.
Sinergi, Bukan Kompetisi
Tumpang tindih keanggotaan antara KADIN dan APINDO bukanlah kelemahan, melainkan cerminan bahwa pengusaha melihat nilai dari keduanya. Yang dibutuhkan adalah penegasan peran dan sinergi fungsional.
KADIN dapat terus memainkan peran strategis dalam fasilitasi investasi dan diplomasi ekonomi, sementara APINDO memperkuat advokasi kebijakan ketenagakerjaan, perlindungan usaha, dan pemberdayaan anggota.
Di Asahan, sinergi ini bisa diwujudkan melalui komunikasi terbuka, pembagian fungsi yang jelas, dan kolaborasi program yang saling menguatkan. APINDO Asahan, misalnya, dapat mengambil peran aktif dalam menyusun rekomendasi kebijakan penyertaan modal, mendampingi pengusaha dalam menghadapi regulasi ketenagakerjaan, dan membangun ekosistem usaha yang sehat dan berdaya saing.
Penutup
Organisasi pengusaha bukan sekadar wadah, tetapi cerminan keberanian, komitmen, dan visi kolektif. KADIN dan APINDO bukan untuk dibenturkan, tetapi untuk disinergikan. Yang terpenting adalah bagaimana keduanya mampu menjawab kebutuhan nyata pengusaha, bukan hanya memenuhi struktur formal.
Di tengah tantangan ekonomi dan birokrasi, pengusaha membutuhkan organisasi yang berani bersuara, berpihak, dan bergerak. APINDO Asahan memiliki peluang besar untuk menjadi kekuatan fungsional yang relevan, responsif, dan berdampak nyata. (**)