Oleh : Edi Prayitno (Jurnalis Investigatif & Pemerhati Tata Kelola Publik)
MEDIA DIALOG NEWS – Inspektorat Kabupaten Asahan menggelontorkan anggaran Rp.5,4 miliar untuk Program Penyelenggaraan Pengawasan di Tahun Anggaran 2024. Namun, di tengah angka fantastis itu, publik mulai bertanya: apakah pengawasan benar-benar menyentuh desa-desa dan kelurahan atau hanya berputar di ruang-ruang birokrasi?
Berdasarkan Laporan Realisasi Fisik dan Keuangan Kegiatan Non Fisik dan Rutin Tahun Anggaran 2024, total anggaran yang dikelola Inspektorat Kabupaten Asahan mencapai Rp.20.508.938.260. Dari jumlah tersebut, Program Penyelenggaraan Pengawasan menyerap Rp.5.454.200.000, menyisakan saldo Rp.9.076.550.
Rincian alokasi anggaran menunjukkan bahwa fokus utama Inspektorat Kabupaten Asahan tertuju pada pengawasan kinerja dan keuangan pemerintah daerah, masing-masing sebesar Rp.838.300.000 dan Rp.1.372.520.000.
Sementara itu, alokasi untuk pengawasan desa hanya sebesar Rp.388.000.000. Jika dana tersebut dibagi rata ke 177 desa, maka setiap desa hanya mendapat porsi sekitar Rp2,1 juta.
Namun, jika cakupan pengawasan mencakup seluruh wilayah administratif—termasuk 27 kelurahan dan 25 kecamatan—total titik pengawasan menjadi 229 lokasi. Dengan demikian, rata-rata alokasi per lokasi turun drastis menjadi sekitar Rp.1,69 juta.
Angka ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah pengawasan benar-benar dilakukan secara langsung dan menyeluruh, atau sekadar formalitas administratif tanpa kehadiran di lapangan?
Sumber internal yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa sebagian besar kegiatan pengawasan dilakukan secara administratif, dengan pemanggilan pihak desa, kelurahan, dan kecamatan ke kantor Inspektorat. “Turun langsung ke desa itu jarang. Biasanya hanya kalau ada laporan khusus atau temuan yang serius,” ujarnya.
Model pengawasan yang diterapkan pun belum sepenuhnya transparan. Pengawasan dengan tujuan tertentu dialokasikan Rp.2.173.600.000, sementara monitoring dan evaluasi tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK RI dan APIP menyerap Rp.585.000.000. Namun, tidak ada publikasi terbuka mengenai rekomendasi yang telah ditindaklanjuti atau OPD mana saja yang belum melaksanakan perbaikan sesuai temuan audit.
Tanpa keterlibatan publik dan media dalam proses evaluasi, kegiatan ini berisiko menjadi formalitas tahunan yang tidak berdampak pada perbaikan sistemik.
Minimnya Transparansi, Lemahnya Akuntabilitas
Ketiadaan laporan terbuka mengenai hasil pengawasan, rekomendasi yang diberikan, serta tindak lanjut dari OPD terkait menunjukkan lemahnya akuntabilitas kelembagaan. Padahal, pengawasan bukan sekadar kegiatan administratif, melainkan instrumen korektif yang seharusnya berdampak langsung pada perbaikan tata kelola. Tanpa publikasi hasil dan indikator capaian, masyarakat tidak memiliki alat ukur untuk menilai apakah Inspektorat bekerja sesuai mandat atau sekadar menjalankan rutinitas birokrasi.
Urgensi Reformasi Mekanisme Pengawasan
Situasi ini menegaskan perlunya reformasi mekanisme pengawasan di tingkat daerah. Pengawasan harus berbasis data, responsif terhadap laporan masyarakat, dan didukung oleh sistem pelaporan digital yang terbuka. Selain itu, pelibatan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan media dalam proses audit partisipatif dapat menjadi langkah strategis untuk memperkuat integritas dan efektivitas pengawasan. Tanpa perubahan paradigma, anggaran besar akan terus menguap tanpa hasil yang dapat dirasakan publik.
Penutup (Refleksi dan Ajakan Aksi)
Anggaran besar seharusnya berbanding lurus dengan transparansi dan dampak nyata. Jika pengawasan tidak menyentuh desa, kelurahan, dan kecamatan secara langsung, maka potensi penyimpangan akan terus berulang tanpa koreksi. Sudah saatnya Inspektorat Kabupaten Asahan membuka ruang partisipatif, melibatkan masyarakat dan media dalam proses audit, serta mempublikasikan hasil pengawasan secara berkala.
Publik berhak tahu: ke mana arah Rp.5,4 miliar itu sebenarnya mengalir. (**)