MEDIA DIALOG NEWS, Palopo – Kepercayaan publik terhadap layanan pemerintahan di Kota Palopo tengah mengalami titik nadir. Setelah gejolak protes warga terhadap Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mangkaluku terkait penyegelan sambungan air tanpa pemberitahuan yang jelas dan lonjakan tagihan yang mencurigakan, kini perhatian juga tertuju pada lemahnya kebijakan Mal Pelayanan Publik (MPP) yang dinilai belum mampu menjadi simbol nyata reformasi birokrasi kota.
Pada Jumat, 13 Juni 2025, puluhan warga bersama pemuda pecinta alam menggelar aksi di kantor PDAM Palopo. Mereka mempersoalkan lonjakan tagihan air yang menyentuh angka hingga Rp4,5 juta per rumah tangga, terutama di wilayah Kelurahan Boting, Kecamatan Wara. Penyegelan sambungan rumah (SR) dianggap dilakukan secara sepihak, meskipun sebelumnya warga telah memiliki kesepakatan angsuran yang masih berjalan.
“Kami bukan menunggak. Kami sudah membayar sebagian, tapi tiba-tiba muncul tagihan baru tanpa penjelasan. Langsung disegel,” kata Hairul Salim, salah satu warga terdampak sekaligus koordinator aksi.
Upaya klarifikasi kepada jajaran direksi PDAM pun tidak membuahkan hasil. Hanya Plh Direktur sekaligus Humas, Ibu Mega, yang hadir menemui massa. Namun, ia menolak memberikan dokumen yang menjadi dasar penyegelan sambungan, sehingga memicu tudingan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“PDAM menolak membuka informasi kepada publik. Ini bentuk pembangkangan terhadap hukum,” tegas Syarifuddin dari Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI).
Warga dan aktivis lingkungan menyuarakan tuntutan yang mencakup audit menyeluruh terhadap sistem penagihan, penghentian sementara penyegelan sambungan, penguatan keterbukaan informasi berbasis digital, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan. Mereka juga mendesak pembaruan sistem pengaduan agar lebih responsif dan transparan.
Di sisi lain, krisis kepercayaan ini diperparah oleh tidak efektifnya implementasi Peraturan Wali Kota Palopo Nomor 7 Tahun 2019 yang mengatur penyelenggaraan MPP. Regulasi tersebut dinilai belum mampu mewadahi transformasi pelayanan publik yang inklusif dan terukur, baik dari sisi teknis, partisipatif, maupun hukum.
Di tengah era digital, sistem MPP Palopo masih belum terintegrasi antarinstansi. Layanan daring berjalan sporadis tanpa standar keamanan data yang kuat dan belum menjamin keberlangsungan skema layanan hybrid. Hal ini menciptakan celah rawan bagi penyalahgunaan data dan ketimpangan akses pelayanan.
Ketiadaan sanksi administratif terhadap instansi yang lalai juga menjadi perhatian. Pelayanan bisa kosong tanpa kehadiran petugas, namun tidak ada mekanisme tanggung jawab yang mengikat. Ditambah lagi, forum konsultasi publik dan kanal aduan digital belum tersedia secara efektif, menjadikan MPP hanya sebatas etalase birokrasi, bukan ruang interaksi sosial yang hidup dan adaptif.
Regulasi MPP Palopo juga belum mengikuti perkembangan kebijakan nasional. Masih merujuk pada Permen PAN-RB 2017, sementara kota-kota lain telah mengadopsi standar terbaru sesuai Permen PAN-RB No. 89 Tahun 2021 tentang MPP Digital. Ketiadaan indikator kinerja, evaluasi independen, dan penilaian publik memperlemah pengawasan serta menyulitkan pengukuran efektivitas layanan.
Sebagai langkah pembenahan, masyarakat dan elemen sipil mendorong revisi menyeluruh terhadap Perda PDAM dan Perwal MPP. Mereka meminta adanya sanksi bagi direksi yang menutup informasi, percepatan integrasi sistem antarinstansi, dan pembentukan forum layanan publik sebagai wadah dialog serta evaluasi berbasis data. Audit independen terhadap PDAM dan MPP juga diusulkan dilakukan oleh lembaga netral seperti perguruan tinggi atau organisasi masyarakat sipil.
Kisruh layanan air dan rapuhnya fondasi MPP menggambarkan bahwa reformasi pelayanan publik di Palopo belum menyentuh akar persoalan. Ketika aturan kehilangan daya gigit, transparansi ditinggalkan, dan pengawasan melemah, maka rakyatlah yang menanggung dampaknya—dipaksa membayar mahal untuk layanan yang jauh dari adil.
“Kami hanya ingin keadilan, keterbukaan, dan pelayanan yang benar. Jangan anggap rakyat bodoh,” ujar seorang warga dengan nada getir.
(Editor: Syarif Al Dhin Tim Investigasi: PPWI, Pemuda Pecinta Alam, dan Komunitas Advokasi Layanan Publik Palopo Palopo, 14 Juni 2025)