MEDIA DIALOG NEWS – Penyiksaan yang paling sakit dirasakan Dion ketika badannya diestrum. “Dilistrik pak, kayak di filim-filim itu. Sakit kalilah pak, sampai mau mati menahankannya. Otakku kayak meleleh saking sakitnya” kenang Dion ketika menceritakan pengalamaannya disiksa oleh Bodiguard Cina Tiongkok di Perusahaan Scamer – Baved Kamboja.
Dion melanjutkan kisahnya bahwa setelah penyiksaan yang paling kejam pernah dirasakannya itu, mereka dikurung dalam satu kamar bersama 8 orang lainnya. Mereka tidak bekerja lagi, layar monitor PC, keyboard dan sekat-sekat di meja panjang tidak menjadi bagian keseharian yang wajib dijalani. Ruang ber AC tempat kerja mereka terasa bagaikan neraka.
“Jumlah pekerjanya ratusan pak, semuanya orang Indonesia,” imbuhnya. Dion menyebutkan semua pekerja scamers yang bertahan di Kamboja karena mereka terpaksa, tak bisa pulang karena paspornya ditahan, dan tidak punya uang, putus kontak, overstay atau tak berani melarikan diri.
“Kalaupun pekerja scamers ini bisa mengirim uang kepada keluarganya di Indonesia karena mereka bekerja mencapai target Rp.75 juta sebulan dari hasil menipu orang-orang Indonesia melalui facebook, Intagram dan WhatsApp,” terang Dion
Saat ini Dion dan 7 orang rekannya sudah dianggap sebagai barang bekas. Tidak berguna, karena tidak memberikan penghasilan kepada Bos Perusahaan Scamer. Artinya mereka akan dibuang, dijual murah kepada siapa saja yang mau membeli. Kebetulan ada Agen Orang Ambon yang membeli mereka dan membawanya ke Homestay di Baved tak jauh dari “Gedung One Peace” tempat mereka disekap.
Ponsel Dion dan teman-temannya dikembalikan dan mereka disuruh menelpon keluarga masing-masing. Si Agen mematok harga tebusan Rp.35 juta setiap kepala supaya bisa dibebaskan, jika tidak mereka akan dijual lagi kepada Perusahaan scamer lainnya.
Batas waktu yang diberikan cuman tiga hari, Dion bingung karena Keluarganya di kampung halaman tak mungkin ada uang sebanyak itu. Dia sudah pasrah, meski Ibundanya berusaha mencari uang tebusan, tetapi Dion mengatakan Dia akan berusaha melarikan diri dari Baved ke KBRI Kamboja di Pnom pen. Tetapi bagaimana caranya? Uang tak ada sama sekali, paspor ditahan Agen, arah jalan menuju ke Ibukota Kamboja itupun Dion tak tahu. Apalagi Bahasa lokal? Sedangkan Bahasa Inggris pun Dion tidak memahaminya.
Doa Ibunda di Malam Takbiran Menembus langit
Di Baved Kamboja, Dion sudah bertekad melarikan diri ke KBRI. Dia masih menunggu temannya yang seorang lagi. Memastikan apakah dia ikut atau tidak bersamanya melarikan diri. “Kawan saya itu orang Medan Tembung pak. Mamaknya mau jual rumah, supaya bisa menebus anaknya pulang. Seorang lagi orang Tanggerang, tak mau melarikan diri. Makanya kami berdua saja yang selalu bisik-bisik merencanakan pelarian” urai Dion.
Setiap kali VC pasti terdengar tangisan dari keluarga Dion dan keluarga teman-temannya. Apalagi dalam suasana menjelang malam takbiran Idul Fitri 1 syawal 1445 H di Indonesia. Sedangkan di Kamboja, Dion masih berjuang antara hidup dan mati. Jika tidak melarikan diri, dia akan dijual entah kepada siapa. “Saya hanya berharap doa dari Ibu saya saja… pak. Semoga doa ibu saya diijabah Allah dan saya bisa Kembali pulang ke pelukannya” ucap Dion lirih.
Tak disangka, Esok pagi usai sarapan Dion dan orang-orang yang ada di Homestay Baved – Kamboja disuruh Bersiap-siap berangkat ke Pnom Pen. “Alhamdulillah… Doa ibu kami semuanya menembus langit, pak. Dijabah Allah. Kami bisa ke Pnom Pen satu kota dengan KBRI di Ibu kota Kamboja,” kata Dion.
Malam Takbiran Dion sudah berada di Hotel di Kota Pnom pen. Mereka ditempatkan di lantai tiga, bersama dua orang temannya (orang Medan Tembung dan Tangggerang). Mereka tidak tidur semalaman, berdua saja merencanakan pelarian.
Dion menggambar situasi hotel, dan teman-teman lainnya yang berada di kamar hotel. “Kami dari Baved 8 orang, pak. Di Hotel Pnom Pen ada yang empat satu kamar, ada yang tiga orang yang satu kamar. Tapi hanya berdua saja kami merencanakan lari dari hotel, sama anak medan tembung itulah, pak..!” Dion menerangkan.
Tepat pukul 4.30 Waktu Pnom Pen – Kamboja, Dion bersama temannya melarikan diri. Mereka mengendap-endap, keluar dari kamar hotel. Tak ada yang mereka bawa, hanya sepatu dan pakaian di badan, ditambah HP + Carger sebagai bekal pelarian. Mereka sudah tahu rute pelariannya. Menggunakan Google Map, Dion bisa tahu kemana arah tujuan mereka melarikan diri.
1 Syawal 1445 H – 10 April 2024
Hari Raya pertama, dua orang anak bangsa yang terancam hidupnya berlari sekencang-kencangnya, mereka berlari keluar masuk jalan kecil di pemukiman penduduk kota Pnom pen. Tujuannya hanya satu, mencari perlindungan ke kantor KBRI, Perwakilan sah Negara Inonesia di Kamboja.
“Satu jam kami lari, pak. Selanjutnya kami berjalan ke arah jalan lintas keluar dari pemukiman. Kami stop bajai kalau disana mereka menyebutnya Tuk-Tuk. Kami tunjukkan Goggel Map kantor KBRI. Supir bajaynya tahu dan menyuruh kami naik,” rinci dijelaskannya.
Mereka sudah berencana, sampai di KBRI akan menyerahkan 1 HP kepada supir Tuktuk sebagai ongkos transportasinya. Apapun yang terjadi, mereka harus masuk ke halaman kantor KBRI walau dengan cara apapun. Tentu saja supir tuk-tuk tidak mau menerima barter HP sebagai ongkos perjalanan mereka, tetapi karena Dion bisa menyakinkan dengan Bahasa isyarat bahwa mereka tidak punya uang akhirnya pak supir bisa memakluminya, lalu pergi meninggalkan mereka.
Dion tak tahu kalau KBRI Pnom Pen sedang libur. Hanya ada 2 orang satpam yang berjaga. Mereka minta masuk dengan menjelaskan persoalan mereka lalu diizinkan, dan sekarang menjadi tanggung jawab Negara Indonesia melindungi mereka. Sebab, halaman Gedung KBRI di manapun berada adalah zona steril yang sama statusnya dengan kekuasaan NKRI.
Singkat cerita, Dion dan temannya diinapkan oleh staf KBRI Pnom Pen di Hotel yang dirahasiakan. Hari ke 5 pelariannya, Dion baru bisa berurusan dengan kantor KBRI usai libur lebaran idul fitri. Dion bersama temannya selama 2 Minggu bersembunyi di hotel, mereka sesekali datang ke KBRI untuk urusan administrasi. “Kami mengurus kehilangan paspor ke Polisi Kamboja dibantu staf KBRI. Lalu kami mengurus SPLP,” terang Dion.
Pada saat melaporkan kehilangan Paspor itulah Dion mengetahui bahwa dirinya adalah turis dengan Visa Pelancong hanya 30 hari di Kamboja. Izin tinggal Dion berlebih 10 hari (over stay) sehingga membayar denda. “Semua biaya dikirim dari kampung pak, jumlahnya total Rp.7.000.000 sama bayar penginapan, makan dan tiket pesawat pulang” kenangnya.
Dalam pelariannya, ketika Dion dan temannya bersembunyi di hotel selalu dalam incaran Agen yang membawanya dari Buved ke Pnom Pen. Mereka sadar bahwa kehidupan masih terancam sebelum sampai di Indonesia.
“Bisa saja kami diculik pak, makanya kami lebih suka menginap di KBRI, tidur di kursi besi daripada menginap di hotel,” ujarnya sembari menambahkan dia pernah memergoki si Agen sedang berada di seberang hotel tempatnya menginap.
Pulang ke Indonesia
Hari Selasa, Tanggal 30 April 2024 Dion bersama temannya terbang dari Phnom Penh Air Port menggunakan pesawat Air Asia. Jam penerbangannya tertera di Boarding Pass pukul 07.40 waktu Kamboja. Mereka transit di Kuala Lumpur sebelum mendarat di Bandara Kualanamu – Deli Serdang Indonesia. (selesai).
Disclamer : Cerita ini ditulis berdasarkan penuturan dari Dion (nama samaran). Tidak ada maksud redaksi mendramatisir keadaan melalui tulisan. Tulisan ini diangkat dari kisah nyata yang lebih sadis dialami oleh Dion dan teman-temannya. Semoga menjadi pembelajaran bersama bagi pembaca, jangan tergoda gaji besar bekerja di Kamboja jika melalui jalur tidak resmi. Teman Dion X dan Y masih tinggal di Kamboja, tidak diketahui bagaimana nasibnya sampai saat ini. (Edi Prayitno)