Oleh: Edi Prayitno
MEDIA DIALOG NEWS – Pemberantasan korupsi di Indonesia terus menghadapi tantangan kompleks, terutama dalam sistem penanganan pengaduan masyarakat terkait penyalahgunaan wewenang. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2025 mengubah mekanisme tersebut dengan menekankan peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dalam tahap awal investigasi sebelum keterlibatan Kejaksaan atau aparat penegak hukum lainnya.
Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, memastikan kesalahan administratif tidak langsung dikriminalisasi, tetapi di sisi lain berpotensi memperlambat proses hukum jika indikasi korupsi yang jelas harus menunggu audit APIP sebelum bisa diproses oleh Kejaksaan.
Bagaimana solusi terbaik agar sistem ini tetap efektif, tanpa menjadi celah bagi koruptor untuk menghindari hukum?
Peran APIP dalam Proses Pengawasan
Dalam Perpres 46/2025, APIP berfungsi sebagai filter awal untuk memeriksa apakah suatu dugaan penyimpangan termasuk dalam ranah administratif atau pidana. Jika masih berada dalam aspek administratif, penyelesaiannya dilakukan secara internal tanpa keterlibatan penegak hukum.
Positifnya: Pertama, Mencegah kriminalisasi kebijakan yang hanya mengalami kesalahan administratif, sehingga tidak semua kasus langsung masuk ke pengadilan. Kedua, Mengurangi beban Kejaksaan dalam menangani laporan yang masih bisa diselesaikan melalui audit internal.
Negatifnya: Jika ada indikasi korupsi yang nyata, menunggu audit APIP bisa memperlambat proses hukum dan membuka celah bagi pelaku untuk menghilangkan bukti. Lebih jauh lagi hal ini berpotensi menjadi alat negosiasi politik yang memungkinkan penyimpangan tetap terjadi tanpa konsekuensi hukum.
Bagaimana Kejaksaan Seharusnya Bertindak?
Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum harus tetap memiliki kewenangan penuh dalam mengusut kasus korupsi, terutama jika ada minimal dua alat bukti yang kuat.
Idealnya, sistem ini bisa berjalan beriringan:
- Jika dua alat bukti sudah ditemukan, Kejaksaan dapat langsung menyelidiki kasus tanpa menunggu audit dari APIP.
- Jika bukti masih minim, maka audit APIP diperlukan untuk mendalami dugaan penyimpangan sebelum masuk ke ranah hukum.
Tantangan dalam Sistem Pengaduan Masyarakat
Salah satu isu terbesar dalam pemberantasan korupsi adalah potensi penyalahgunaan laporan pengaduan masyarakat (Dumas). Ada kasus di mana pejabat yang dilaporkan justru menjadi korban pemerasan oleh oknum yang menyalahgunakan kekuasaan.
Potensi Penyalahgunaan Dumas:
- Dipakai sebagai alat politik untuk menjatuhkan seseorang, bukan sebagai bentuk pengawasan publik yang transparan.
- Dijadikan modus pemerasan, di mana terlapor ditekan untuk memberikan sejumlah uang agar kasusnya tidak diproses lebih lanjut.
Untuk menghindari penyalahgunaan sistem pengaduan masyarakat, perlu ada mekanisme transparansi yang menjamin bahwa:
- Setiap laporan diperiksa secara independen, bukan berdasarkan kepentingan politik atau transaksi pribadi.
- Audit terhadap penanganan kasus oleh Kejaksaan dilakukan secara berkala untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan.
- Perlindungan terhadap pelapor dan terlapor diberikan, agar sistem pengaduan tetap murni sebagai sarana pemberantasan korupsi.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Solusi terbaik adalah menyeimbangkan peran APIP dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Jika sudah ada dua alat bukti yang cukup, Kejaksaan harus bisa langsung menyelidiki tanpa perlu menunggu audit APIP. Jika bukti masih kurang, audit APIP bisa menjadi tahap awal untuk mendalami dugaan korupsi.
Pengaduan masyarakat perlu diawasi secara ketat, agar tidak dijadikan alat pemerasan atau negosiasi politik. Transparansi dalam sistem pengawasan dan investigasi harus diperkuat, agar tidak ada celah bagi penyimpangan hukum.
Dengan pendekatan yang seimbang, Indonesia dapat memastikan bahwa proses penegakan hukum tetap berjalan efektif, tanpa mengorbankan hak pejabat yang hanya melakukan kesalahan administratif, dan tanpa membuka celah bagi korupsi yang dibiarkan tanpa konsekuensi hukum. (**)