MEDIA DIALOG NEWS, Jakarta — Aktivis muda Muhammad Fithrat Irfan menyambangi kantor Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) di Matraman, Jakarta Timur, pada Kamis (12/6/2025). Dalam kunjungan tersebut, Irfan bertemu langsung dengan Ketua Formappi, Lucius Karus, untuk membahas dugaan praktik suap yang melibatkan 95 anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
Irfan menyampaikan bahwa pertemuan ini dilakukan sebagai bentuk silaturahmi sesama aktivis sekaligus meminta pandangan dari Formappi terkait situasi terkini di parlemen.
“Di sini kita melihat semua kerusakan di semua sektor birokrasi. Terutama yang kita bahas, kalau lebih dari 95 senator DPD RI dari total 152 yang ada di sana itu sungguh memilukan. Kerusakan sumber daya manusia dan moral dari 95 senator DPD RI itu tidak bisa ditoleransi. Ini merupakan catatan buruk dalam sejarah parlemen tentang jumlah yang menerima rasuah dalam pemilihan pimpinan Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI unsur DPD,” ujar Irfan.
Irfan mengungkapkan bahwa kasus ini semakin memprihatinkan karena adanya dugaan keterlibatan institusi negara dalam mengawal praktik politik uang dalam kontestasi pemilihan pimpinan DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD. Ia menyebutkan bahwa nilai transaksi suap menyentuh jutaan dolar.
“Untuk pemilihan Ketua DPD itu 5 ribu dolar Amerika Serikat. Sedangkan untuk pemilihan Wakil Ketua MPR RI unsur DPD, ada dua varian: yang pertama 8.000 dolar USD, dan yang kedua 10.000 dolar SGD. Dalam putaran terakhir, pertarungan semakin sengit. Suara senator yang memiliki konstituen di putaran pertama dibeli seharga 100.000 dolar Singapura untuk memenangkan pasangan lainnya. Di putaran terakhir, nilai suap tembus jutaan dolar,” jelas Irfan.
Menurutnya, praktik jual beli jabatan ini mencoreng demokrasi Indonesia. “Inilah potret rusaknya demokrasi yang ada di negara kita, khususnya parlemen, dalam praktik jual beli jabatan,” tegasnya. Irfan menyebut bahwa praktik transaksional secara massif dan sistemik ini terjadi secara terbuka, bahkan dihadapan publik.
“Praktik ini dipertontonkan di khalayak ramai di Gedung Paripurna Nusantara V saat itu, mulai dari Hotel Ritz-Carlton Mega Kuningan. Ini sangat merusak dan melecehkan demokrasi yang ada di Indonesia serta suara-suara rakyat yang memilih mereka di daerah pemilihan masing-masing,” imbuhnya.
Ia pun menyerukan kepada para aktivis dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di seluruh Indonesia untuk tidak diam. “Siapa lagi yang akan berjuang kalau bukan kita semua?” serunya.
Irfan juga menyoroti dugaan keterlibatan Menteri Hukum dalam upaya memenangkan putranya sebagai Wakil Ketua MPR RI unsur DPD, yang diperkuat dengan rekaman saksi dan keterlibatan staf kementerian.
“Kalau dari pimpinan DPD RI itu ada instrumen negara, dalam hal ini aparatur negara, yang terlibat. Apa rakyat Indonesia masih bisa percaya dengan wakil rakyat seperti itu?” tutup Irfan. (Fadly)