MEDIA DIALOG NEWS – Di ruang kerja yang tak pernah benar-benar sepi—penuh berkas rapat, notulensi, Berita Acara, dan jejak perdebatan politik—H.Efi Irwansyah Pane, MKM duduk dengan ketenangan orang yang sudah lama berdamai dengan jatuh-bangun hidup. Ketua DPRD Asahan periode 2024–2029 itu membuka kisahnya tanpa tedeng aling-aling: sederhana, jujur, dan terasa dekat—seorang guru yang sudah lebih dulu mengajar sebelum menjadi politisi.

Pendidikan sebagai pijakan, organisasi sebagai jalan
“Aku dulu tamat D3 tahun 1992, mengajar di SPK Pemkab Asahan,” kenangnya. Baru kemudian pada Tahun 1994, bersama Pak Sofyan AS, ia terjun mengelola AKPER Yagma. “Dari mulai berdiri, mengelola, dan membesarkannya saya ikut,” ujarnya. Dari Ketua Sofyan AS di KOSGORO—organisasi pendiri Golkar—ia diperkenalkan pada dunia berorganisasi, yang kelak menjadi rumah kedua bagi dirinya.
Di antara jadwal mengajar, Efi belajar disiplin yang tidak selalu terlihat: menyiapkan kurikulum, menjaga mutu, dan menata jejaring alumni agar lulusan keperawatan dan kebidanan cepat terserap. Ritme kampus menular ke ritme organisasi: setiap rapat punya notulensi, setiap keputusan punya tindak lanjut. Di situ, kariernya tidak “naik” sekali lonjak, tetapi bertambah pelan-pelan—seperti menambah buku di rak yang sama.
Reformasi 1999 membuka celah. Ketika ASN tak lagi boleh menjadi pengurus partai politik, sejumlah kursi di DPD Golkar Asahan kosong. Efi direkrut dari organisasi KOSGORO, duduk sebagai Ketua Bidang Organisasi, lalu bergeser menjadi Wakil Sekretaris. Pada saat pemekaran Kabupaten Asahan, sebagian pengurus Golkar pindah ke DPD Kabupaten Batubara. Apalagi dinamika lokal semakin riuh di internal Partai saat Pilkada 2010 di Asahan memuncak konflik—sebuah babak Baru yang menempanya, bukan meruntuhkannya.
Jatuh tiga kali, bangkit keempat kali
Efi tiga kali maju sebagai caleg (2009, 2014, 2019) dan tiga kali pula merasakan pahitnya kekalahan. “Tiga kali itu aku kalah,” katanya sambil tersenyum tipis—senyum orang yang menjadi semakin utuh justru karena retak.
Kekalahan bukan akhir; ia mengubahnya menjadi cara bekerja. Efi memetakan basis-basis konstituen yang dulu lemah, memperbaiki komunikasi, mengurangi slogan, menambah kunjungan yang sungguh-sungguh. Ia belajar membedakan antusiasme dengan suara nyata, belajar bahwa janji panjang kalah oleh kehadiran yang konsisten.

Tahun 2020, ketika Ketua DPD Golkar Kabupaten Asahan dijabat oleh Bung Benteng Panjaitan tak mau lagi mengambil diskresi untuk kembali memimpin, Efi terpilih dan ditetapkan sebagai Ketua DPD Golkar Asahan tanpa kursi legislatif di tangannya. Ia memilih bekerja, bukan mengeluh. Lima tahun konsolidasi ia ringkas dalam satu ajakan: “Golkar 2024—Mari Bung Rebut Kembali.” Dari tujuh kursi, Golkar Asahan melejit menjadi sepuluh kursi. Bahwa Ketentuan partai pemenang dalam Pemilu Legislatif menempatkannya di kursi Ketua DPRD Asahan periode 2024–2029. Kemenangan politiknya tiba di Pileg 2024—pelan, bersih, dan seperti yang ia sebut sendiri: bonus.
“Aku bukan pebisnis, bukan pengusaha, tapi dosen yang penghasilannya terbatas,” ucapnya. Kalimat itu bukan mengiba, melainkan ukuran kejujuran. Ia menambahkan dengan realistis: “Kalau mencaleg ini tidak habis duit, itu bohong.” Ada biaya, ada dukungan, ada rezeki yang datang hanya di musim pemilu—dan lenyap setelahnya. Di antara yang fana itu, ia memilih bertahan dengan kerja dan silaturahim.
Masa kecil: toleransi, jarak, dan jalan kaki yang panjang
Efi tumbuh di Sungai Lobah, Pasar V, Desa Perbangunan, Kecamatan Sei Kepayang—wilayah dengan mayoritas penduduk Kristen. “Dari sekolah SD inilah aku mendapat pembelajaran bertoleransi, menghargai sesama, memahami adat, suasana yang damai, bahasanya pun aku pahami,” tuturnya. Waktu sekolah SD bagi kami Sepatu tidak wajib; kaki ayam menjadi kebiasaan.
Bukan kemiskinan yang ditonjolkan, karena memang jalan menuju ke sekolah becek dan berlumpur, kadang kami “menyampan” sehingga tidak memungkinkan bersepatu. Justru disitulah tampak kesederhanaan yang menguatkan mengejar cita-cita melalui pendidikan. Bahwa anak-anak di desapun mesti pintar seperti anak-anak yang tinggal di kota.
Ia belajar menaruh hormat pada perbedaan dengan cara yang praktis: ikut bermain bersama anak-anak di kampung, memahami kebiasaan ritual tetangga, dan belajar kosakata yang membuat percakapan berjalan tanpa canggung. Toleransi baginya bukan teori, melainkan kebiasaan harian—menyapa, mendengar, dan tidak cepat merasa benar.

SMP ia jalani di Negeri 1 Kisaran, SMA sore di PGRI-7 (kelas menumpang di SMAN 1 Kisaran). Dari Buntu Pane ke Kisaran, ia menumpang truk, berjalan kaki panjang, dan tak jarang tiba di Perapat Janji pukul sebelas malam. Jarak membentuknya: sabar, tekun, dan tahu bahwa pulang selalu mungkin selama berani melangkah.
Setelah tamat SMA, Efi lolos seleksi D3 Keperawatan di AKPER Depkes Medan—yang saat itu hanya satu untuk Sumatera Utara—dengan skema subsidi semi ikatan dinas. Ia melanjutkan D4 (2000) dan mengambil S2 sekitar 2019–2020 di Institut Kesehatan Deli Husada, Medan. Penjenjangan pendidikan di bidang kesehatan menurutnya berjalan pelan, sesuai ritme seorang pengajar yang tidak mengejar gelar, tetapi mutu.
Keluarga: sumber tenaga, bukan sekadar penonton
Di periode keempat pencalonan, Efi sebenarnya pasrah. Biaya terbatas, fisik tak lagi seperti sepuluh tahun lalu, rasa percaya diri terkikis oleh tiga kekalahan. Tetapi keluargalah yang mendorongnya maju kembali mencalon sebagai anggota legislatif.
Di ruang tengah yang sederhana, obrolan keluarga berubah menjadi forum yang paling jujur. Anak-anak mengingatkan, istri memberi cermin dari masa lalu. “Yang pahit, dan terpahit itu sudah pernah kita lewati,” katanya. Kejujuran itu tidak mengeras jadi tuntutan; ia menjadi selimut yang membuat keberanian kembali hangat.
Anak-anaknya—empat orang yang kini sudah dewasa—menariknya kembali ke gelanggang. Yang sulung bekerja di PPKS, yang kedua bintara polisi dan menempuh S2 di UGM (setelah S1 juga di UGM), yang ketiga sedang menyelesaikan S1 di IPB, yang bungsu belajar di SMA Plus Sibolga (Matauli).
“Ayah kok jadi penakut sekarang,” tegur dua anak tertua. Mereka mengingat masa kecil: “Resiko ayah mencalon dulu lebih besar, jika terjadi hal yang tidak diinginkan, kami akan putus sekolah. Kini, mereka bilang, “Kalau ada sesuatu apapun yang terjadi, mereka bisa membackup adik-adik,” untuk tetap melanjutkan pendidikannya.
Istrinya menambahkan kejujuran yang menyejukkan: “Yang pahit, dan terpahit itu sudah pernah kita lewati.” Pernah satu lebaran kami hanya mampu membeli singlet untuk anak-anak. Tak ada keluhan, tak ada putus asa. “Kenapa sekarang tidak berani?” kalimat itu menguatkan Efi bukan sebagai dorongan ambisi, melainkan ajakan menunaikan keberanian yang dulu sudah dibuktikan.
Dengan mengucap bismillah, ia maju di Dapil 1 Asahan (Kecamatan Kisaran Timur dan Kisaran Barat). Ada beban sebagai ketua partai agar tidak kalah kontestasi dalam Pemilu Legislatif; tapi sebagai pribadi, ia sudah berdamai dengan kemungkinan kalah. Justru di titik itulah kemenangan datang.
Mengajar: panggilan jiwa yang tak pernah pensiun
Meski menjabat Ketua DPRD, Efi tetap mengajar di AKPER Yagma. “Mengajar ini merupakan panggilan jiwa bagiku,” katanya. Ia menyebutnya sebagai pahala jariah—ilmu yang terus mengalir bahkan setelah si pengajar tiada. Murid-muridnya kini tersebar di rumah sakit dan puskesmas se-Kabupaten Asahan; sebagian di antaranya sudah punya anak yang juga menjadi muridnya. Waktu telah menegaskan lingkaran pengabdian itu, terus berlanjut.

Mengajar membuatnya jernih dalam melihat kebijakan: ia tahu rasanya kekurangan alat praktik, ia paham pentingnya beasiswa kecil yang menjaga seorang mahasiswa tetap bertahan. Di kursi ketua, ingatan kelas itu menjadi kompas—agar angka-angka nominal rupiah di APBD Asahan tidak kehilangan wajah kemanusiaannya.
Efi tidak mendesain ambisi masa depan. Ia “mengalir”—menerima amanah, menolak jalan pintas, bekerja di jalur yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau sekirangya Allah memberi ruang yang lebih luas, dan tanggung jawab yang lebih besar ia siap. Kalau tidak, dia sudah bersyukur dengan apa yang diterimanya saat ini. Menurutnya anugerah Allah kepada diri dan keluarganya sudah sangat “luar biasa.”
Visi di kursi ketua: PAD tanpa membebani rakyat, kerja layak untuk anak muda
Fokusnya jelas: kesejahteraan masyarakat Asahan. Dia bilang, secara fiskal, Asahan berada di kelas menengah; tugas eksekutif adalah mencari sumber Pendapatan Asli Daerah atau PAD tanpa memberatkan rakyat, tugas legislatif adalah menyelaraskan dan mendukung hal-hal positif. Ia menekankan dua jalur sekaligus:
- Pendorong formal: iklim investasi dan dunia usaha yang ramah, efektif, dan berdampak.
- Penguat non formal: pendidikan dan pelatihan angkatan kerja lokal—khususnya generasi Gen Z—agar mampu menembus industri dan membangun usaha mandiri.
Di ruang rapat, Efi mendorong ukuran anggaran belanja daerah agar lebih jujur: bukan hanya besar pada nilai anggaran, tetapi efektifnya serapan dan nyata tidaknya dampak terhadap kesejahteraan rakyat Asahan. PAD harus bertumbuh tanpa memeras warga; investasi harus membawa pekerjaan layak, bukan sekadar papan nama baru.
Menurutnya, Serapan tenaga kerja masih rendah; itu masalah bersama, bukan sekadar angka. Untuk mengatasinya banyak pilihan yang bisa dilakukan “Caranya dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan kepada angkatan kerja lokal sehingga mereka mampu bersaing di dunia industri. Kemudian juga harus mendorong peningkatan PAD Kabupaten Asahan dari berbagai sektor, supaya pembangunannya meningkat dan kesejahteraan rakyat juga meningkat,” pungkasnya.

Esensi seorang ketua: silaturahim, bukan ambisi
Jalur panjang Efi— ke kursi ketua DPD Golkar dan Ketua DPRD Asahan—menyimpan benang merah yang konsisten: silaturahim. Ia tidak memelihara ambisi dengan menghalalkan segala cara; ia memelihara hubungan yang melahirkan kepercayaan. Politik, baginya, bukan panggung untuk menang sendiri, melainkan ruang untuk bekerja bersama.
Silaturahim itu ia rawat dengan kebiasaan sederhana: menyapa kader senior, mendengar keluh-kesah kader muda, dan hadir di forum-forum kecil yang sering dianggap tidak penting. Di situ, partai bukan hanya mesin elektoral; ia menjadi komunitas yang saling menjaga.
Namun, silaturahim bukan hanya soal menjaga hubungan; di kursi ketua, ia diuji oleh amanah publik. Kursi Ketua DPRD bukan sekadar simbol kemenangan, melainkan amanah yang terus diuji. Publik Asahan menunggu apakah silaturahim yang ia rawat mampu menjelma jadi kebijakan nyata. Di titik inilah perjalanan panjang seorang guru dan organisator bertemu dengan ekspektasi masyarakat yang tak pernah berhenti.
Kemenangan Pileg 2024 ia sebut bonus. Tetapi cara ia menjaganya—mengajar, merawat kader, menyusun langkah kebijakan yang berimbang—itu bukan bonus. Itu pilihan yang diambil setiap hari: sederhana, wajar, dan karena itu justru kuat. (Edi Prayitno)
Pengumuman
Dialog Berita bersama Media Dialog News saat ini tengah melakukan pencarian 100 figur tokoh Kabupaten Asahan untuk ditulis riwayat hidup singkat serta perannya di berbagai bidang.
Tokoh-tokoh tersebut akan dipilih berdasarkan kiprah, kontribusi, dan keteladanan yang layak dijadikan panutan bagi masyarakat. Bidang yang dimaksud mencakup pemerintahan, pendidikan, kesehatan, jurnalistik, olahraga, agama, hukum, politik, budaya, ekonomi, sosial, hingga gerakan masyarakat sipil.
Kami mengundang partisipasi pembaca untuk mengusulkan nama tokoh yang dianggap layak masuk dalam daftar ini. Usulan dapat dikirimkan ke redaksi dengan format:
- Nama Tokoh : ——————————
- Nomor Ponsel Tokoh : ——————
- Bidang Kiprah : —————————
- Alasan singkat mengapa tokoh tersebut layak dijadikan panutan : ————
Kirimkan usulan melalui email: edi_batakpos@yahoo.com atau WhatsApp: 0889-9737-2905
Hasil pencarian ini akan dipublikasikan secara bertahap dalam bentuk tulisan feature, sehingga masyarakat dapat mengenal lebih dekat figur-figur inspiratif dari Asahan. Pada akhirnya, 25 tokoh terpilih akan diseleksi kembali untuk diterbitkan menjadi sebuah buku.
(Redaksi Dialog Berita & Media Dialog News)



