MEDIA DIALOG NEWS — Wacana reformasi Polri kembali mengemuka di ruang publik, menarik perhatian berbagai kalangan, termasuk tokoh nasional R. Haidar Alwi. Sosok yang dikenal atas kontribusi sosial dan pemikirannya yang tajam ini menyoroti dinamika reformasi yang dinilai berjalan perlahan namun penuh perhitungan.
“Lebih dari satu bulan sejak wacana reformasi Polri bergulir, langkah konkret dari pemerintah tampak belum sepenuhnya terealisasi,” ujarnya. Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui pembentukan Komite Reformasi Polri sebagai wadah independen untuk menelaah, menilai, dan merekomendasikan arah pembenahan institusi kepolisian. Namun, hingga pertengahan Oktober, komite tersebut belum juga dilantik. Jadwal pelantikan yang semula disebut akan berlangsung awal bulan ini pun mundur tanpa penjelasan publik yang memadai.
Situasi ini memunculkan spekulasi: apakah penundaan tersebut mencerminkan keraguan, atau justru strategi senyap dari seorang pemimpin yang memahami bahwa gerakan reformasi tidak selalu bebas dari kepentingan terselubung?
Dalam politik kekuasaan, penundaan bukan berarti kelambanan. Kadang, itu adalah bentuk kecermatan dalam membaca arah angin dan menimbang konsekuensi dari setiap langkah. Prabowo, yang dikenal sangat perhitungan dalam setiap keputusan strategisnya, tampaknya sedang mengambil jarak untuk memastikan bahwa reformasi Polri benar-benar berangkat dari niat memperkuat institusi, bukan dari tekanan politik yang menyimpan agenda tersembunyi.
Sejarah menunjukkan bahwa reformasi yang dipaksakan tanpa kalkulasi matang kerap berubah menjadi instrumen kekuasaan baru. Mengganti satu bentuk dominasi dengan dominasi lain yang lebih halus namun tak kalah berbahaya. Desakan untuk mempercepat reformasi datang dari berbagai arah—sebagian dengan semangat moral, sebagian lagi dengan agenda samar. Di antara suara-suara yang paling nyaring, tak sedikit yang tampak lebih berminat menjadikan Polri sebagai arena tawar-menawar politik ketimbang institusi hukum yang profesional dan independen.
Dalam konteks itulah, kehati-hatian Prabowo menjadi relevan. Ia tidak mengabaikan tuntutan publik, namun memastikan bahwa reformasi yang dijalankan tidak menjadi jebakan politik yang justru merusak stabilitas pemerintahan yang baru dibangun. Reformasi Polri sejatinya bukanlah perkara cepat atau lambat, melainkan tepat atau salah arah.
Prabowo memahami bahwa Polri bukan sekadar lembaga penegak hukum, melainkan penopang utama stabilitas nasional. Mengubah struktur dan kultur institusi sebesar itu tanpa perhitungan mendalam ibarat mengutak-atik sistem pertahanan negara. Kesalahan kecil bisa berakibat fatal bagi keutuhan negara dan kepercayaan publik.
Dengan ditundanya pelantikan Komite Reformasi Polri, Prabowo tampaknya sedang menguji kembali komposisi, kepentingan, dan arah kebijakan dari tim yang akan dibentuk. Ia seolah menyeleksi siapa yang benar-benar ingin memperbaiki Polri, dan siapa yang sekadar ingin menunggangi isu reformasi demi kepentingan politik.
Langkah ini, bagi sebagian kalangan, mungkin tampak lamban. Namun bagi mereka yang memahami bahasa kekuasaan, ini adalah manuver yang sarat perhitungan. Prabowo tampaknya ingin memastikan bahwa perubahan di tubuh kepolisian dilakukan dengan kontrol kuat dari negara, bukan tekanan dari kelompok luar.
Reformasi, dalam pandangan strategisnya, bukan sekadar rekonstruksi kelembagaan, tetapi rekonstruksi kepercayaan antara negara, aparat, dan rakyat. Itu sebabnya, setiap langkahnya diukur, setiap keputusan ditimbang, dan setiap desakan diuji motifnya.
Masyarakat mungkin ingin melihat gebrakan cepat, namun Presiden Prabowo memilih bergerak dengan kalkulasi yang senyap. Ia tahu, dalam politik, yang tergesa-gesa sering terjebak. Dengan membiarkan waktu bekerja, ia sedang mengamati siapa yang resah, siapa yang sabar, dan siapa yang mencoba menunggangi momentum. Karena di situlah sebenarnya reformasi Polri diuji—bukan hanya di tubuh kepolisian, tetapi juga di moral mereka yang paling nyaring menuntut perubahan.(Jakarta, 17 Oktober 2025 R. Haidar Alwi Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB)