MEDIA DIALOG NEWS, Bayung Lencir – Praktik ilegal drilling yang terus menghantui wilayah Musi Banyuasin kembali menjadi sorotan. Dalam sebuah forum dialog yang digelar Polsek Bayung Lencir di Aula Bhayangkari, Kamis (20/11/2025), aparat bersama pemerintah kecamatan, perangkat desa, pihak kehutanan, dan perusahaan saling membuka suara mengenai ancaman nyata aktivitas pengeboran liar terhadap keselamatan warga dan lingkungan.
Hadir dalam kegiatan ini Camat Bayung Lencir M. Imron, Kapolsek IPTU M Wahyudi, perwakilan Danramil 401-04/BYL, KPH Lalan, PT BPP, serta para kepala desa, lurah, dan insan media.
Kapolsek IPTU M Wahyudi menegaskan bahwa pencegahan tidak dapat dilakukan sepihak. Menurutnya, desa memegang peran strategis dalam mendeteksi pergerakan awal aktivitas pengeboran ilegal.
“Deteksi dini itu lahir dari desa. Kalau perangkat desa diam, aparat kehilangan waktu. Ini bukan semata urusan hukum, tapi soal nyawa warga,” ujarnya dalam forum dialog tersebut.
Ia mengungkap bahwa di Kabupaten Muba terdapat lebih dari 2.000 sumur ilegal. Angka itu, kata Wahyudi, bukan hanya statistik—tetapi bukti betapa seriusnya situasi yang harus dikendalikan bersama.
Camat Bayung Lencir M. Imron dalam pemaparannya mengaku bahwa kelambatan informasi dari desa sering menjadi pemicu masalah membesar. Ia mendorong agar kepala desa dan kepala dusun lebih berani menyampaikan potensi pelanggaran sebelum terlambat.
“Desa adalah titik awal setiap aktivitas. Kalau ada yang mencurigakan, laporkan. Jangan menunggu ketika dampaknya sudah tidak bisa dikendalikan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pengalaman masa lalu seharusnya menjadi alarm kuat bagi seluruh jajaran pemerintahan di tingkat bawah.
Sementara itu, perwakilan KPH Lalan, Anisa, menjelaskan mengenai batasan hukum di kawasan hutan. Ia menegaskan bahwa seluruh aktivitas di dalam hutan, sekecil apa pun, harus berizin resmi.
“Jika tidak sesuai aturan, ada sanksi pidana yang berlaku. Kawasan hutan bukan ruang bebas,” jelasnya.
Dari sisi lingkungan, Manager Humas PT BPP Amin menyampaikan kekhawatiran serius. Ia mengungkap bahwa pencemaran anak sungai dan kawasan konservasi, terutama di daerah Selaro, terus mengintai akibat aktivitas pengeboran minyak ilegal. Ia juga mengingatkan bahwa sejumlah kebakaran hutan sebelumnya dipicu aktivitas serupa.
“Penindakan tahun 2019 menjadi bukti bahwa dampaknya nyata. Namun faktanya, praktik ilegal masih muncul. Ini bukan hanya tanggung jawab aparat, tapi kita semua,” katanya.
Kegiatan ditutup dengan kesepakatan memperkuat kolaborasi lintas sektor: kepolisian, kecamatan, perangkat desa, perusahaan, dan kehutanan. Bentuk pencegahan di lapangan akan dilakukan melalui penyuluhan intensif hingga pemasangan spanduk larangan.
Dialog ini menjadi pengingat bahwa pemberantasan ilegal drilling bukan hanya penindakan, melainkan kerja bersama yang membutuhkan keberanian desa, ketegasan aparat, dan kepedulian masyarakat. (Joy)





