MEDIA DIALOG NEWS – Ini bukan kisah fiksi. Ini adalah kesaksian nyata dari seorang anak muda asal Kisaran Timur, Kabupaten Asahan, yang terjebak dalam jaringan perdagangan manusia lintas negara. Dion (nama samaran), bersama dua rekannya, tergiur tawaran kerja sebagai “admin” di Kamboja dengan gaji besar dan fasilitas lengkap. Namun, yang mereka temui bukanlah kantor profesional, melainkan ruang penyiksaan, penipuan digital, dan ancaman kematian.
Selama berhari-hari, Dion hidup sebagai “scammer paksa”—dipaksa menipu sesama warga Indonesia melalui media sosial, di bawah pengawasan ketat dan ancaman kekerasan. Ia disiksa, dijual dari satu agen ke agen lain, dan akhirnya bertekad melarikan diri ke KBRI Phnom Penh demi menyelamatkan nyawanya.
Kisah ini dituturkan langsung oleh Dion kepada Dialog News, sebagai bentuk peringatan dan pembelajaran bagi masyarakat. Di tengah gelapnya eksploitasi digital, satu hal yang tak pernah padam: doa seorang ibu di malam takbiran, yang menjadi jalan pulang bagi anaknya.
I
Sebut saja namanya Dion, seorang pemuda berusia sekitar 20 tahun dari Kecamatan Kisaran Timur, Kabupaten Asahan. Bersama dua rekannya—X (22 tahun) dan Y (26 tahun)—Dion tergiur tawaran pekerjaan sebagai juru ketik di Kamboja. “Kalau cuma mengetik di laptop, kami merasa bisa,” begitu pikir mereka saat menerima iming-iming dari seorang calo di Kota Kisaran.
“Ditawari gaji Rp12 juta sebulan, dibuatkan paspor, tiket pesawat PP ditanggung, dapat bonus, kerjanya cuma admin, ngetik-ngetik saja—siapa yang nggak tertarik, Pak?” tutur Dion saat diwawancarai oleh mediadialognews.com dan dialogberita.com, Sabtu, 1 Februari 2025, di sebuah kafe di Jalan Kartini, Kisaran.
Dari Kisaran ke Dumai
Pada pertengahan Ramadhan, April 2024, mereka berangkat. Agen perekrut tenaga kerja ilegal asal Kisaran berkoordinasi dengan calo lain di Kabupaten Batubara. Keduanya terhubung dengan seorang bos perdagangan manusia di Medan.
“Bosnya orang China, Pak. Namanya Jhon, tinggal di Medan. Kami kenal lewat WA, karena kami dimasukkan ke grup WhatsApp,” jelas Dion. Belakangan mereka baru tahu bahwa nama dan foto profil Mr. Jhon ternyata palsu.
Arahan dan perintah datang lewat pesan WA. Malam itu, sekitar pukul 20.30 WIB, mereka dijemput dengan mobil Avanza di depan rumah Dion, menuju Dumai. Sebelum berangkat, mereka diberi uang Rp50.000 per orang dan disediakan makan selama perjalanan. Mereka tiba di Dumai sekitar pukul 06.30 pagi.
Di sana, mereka ditempatkan di sebuah rumah berlantai tiga. Lantai satu adalah kantor agen travel “A”, terletak di jalan lintas Dumai dekat pelabuhan. Selain mereka bertiga, ada 12 orang lain: lima dari Medan, tiga dari Binjai, dua dari Langkat, satu dari Lampung, dan satu dari Jakarta.
Bagi yang belum memiliki paspor, dokumen seperti KK, KTP, akta kelahiran, dan ijazah dikumpulkan untuk pengurusan. Biaya ditanggung oleh agen. Mereka juga dilatih mengetik cepat di laptop. Dion, yang belum mengenal istilah CPM (karakter per menit) dan KPM (kata per menit), belajar siang malam selama tiga hari. “Waktu itu kami dianggap lulus karena bisa mengetik minimal 30 KPM,” kenangnya.
Menuju Malaysia
Dari Dumai, Dion dan tiga rekannya, bersama sepasang suami-istri muda asal Langkat, naik kapal cepat ke Selangor dan tiba pukul 5 sore waktu Malaysia. Sepuluh orang lainnya berangkat dalam trip kedua. Di Malaysia, mereka dijemput agen dan dibawa ke Kuala Lumpur selama empat jam perjalanan.
Di KL, mereka diinapkan di OYO Hotel dan diawasi oleh agen Malaysia. Tiket ke Kamboja diurus sepenuhnya. Dion mengaku tidak tahu nasib 10 orang lainnya.
“Kami berlima berangkat dari KL ke Phnom Penh tanpa pendamping. Tiket sudah disiapkan, kami disuruh terbang sendiri. Dari Batam, kami sempat difoto berlima dan dikirim ke grup WA. Bos Mr. Jhon memberi panduan bahwa di Malaysia akan ada agen penjemput, dan foto kami sudah ada di tangan mereka. Begitu juga saat tiba di bandara Kamboja, kami disuruh mencari seorang perempuan muda yang memegang karton bertuliskan ‘7777’ di pintu keluar bandara Phnom Penh,” jelas Dion.
Tiba di Kamboja
“Bagaikan memulai perjalanan ke neraka,” kata Dion dengan suara bergetar. Sesekali ia berteriak tanpa sadar, menahan amarah dan trauma saat mengenang kisahnya.
II
Begitu menginjakkan kaki di Bandara Phnom Penh, Dion dan rekan-rekannya disambut oleh seorang perempuan muda yang telah menunggu mereka. Urusan imigrasi berjalan lancar, dan mereka menerima visa wisata 30 hari—dokumen berbahasa Inggris dan Khmer yang tak mereka pahami. Mereka mengira telah mendapatkan izin kerja satu tahun, seperti yang dijanjikan oleh Mr. Jhon. Kenyataannya, mereka kemudian didenda karena melebihi masa tinggal yang diizinkan.
Dijual Seperti Budak di Sihanoukville
Dari bandara, Dion bersama X dan Y—dua teman sekampungnya dari Sei Renggas, Kisaran Timur—dikirim ke Sihanoukville (Kampong Som), sekitar empat jam perjalanan. Di dalam mobil travel, mereka diberi nomor perdana Kamboja, pulsa, paket internet, dan makanan. Tujuan mereka: tempat kerja yang disebut-sebut sebagai “Gold Casino.”
“Kalau nggak salah nama gedungnya Gold Casino, Pak. Ada enam gedung di sana, bentuknya seperti rumah susun,” ujar Dion.
Setiap gedung dijaga ketat oleh pria berseragam hitam dengan senjata laras panjang, ditambah anjing penjaga. Di dalam gedung, mereka dites mengetik di komputer. Hanya dua orang yang lulus. Dion dan Y ditolak, sementara X diterima di Gedung III. Dion dan Y kemudian dijual ke agen lain, dibawa ke gedung berbeda, dites lagi, dan kembali ditolak.
Jam 10 malam waktu setempat, mereka sudah kelelahan. Tak ada istirahat. Mereka diinapkan di sebuah homestay oleh agen yang berencana menjual mereka ke bos scammer lainnya.
Bavet: Pusat Penipuan Asia Tenggara
Bavet dikenal sebagai pusat operasi penipuan digital di Asia Tenggara. Kelompok-kelompok scammer di sana menjalankan berbagai modus: phishing, investasi palsu, dan penipuan melalui media sosial.
Dion dan Y tidak tahu di mana Bavet berada. Mereka hanya tahu bahwa perjalanan dari homestay ke Bavet memakan waktu delapan jam. Di sana pun mereka gagal “terjual” dan dikembalikan ke homestay. Dion jatuh sakit—asam lambungnya kambuh, tubuhnya demam dan lemah. Meski begitu, ia tetap dipaksa bekerja di perusahaan terakhir yang bersedia menerima mereka. Y sudah lebih dulu bekerja, meski di perusahaan yang berbeda.
Hari-Hari Penuh Penderitaan
Hari Pertama Kerja
Dion baru menyadari bahwa pekerjaannya bukan sebagai admin, melainkan scammer. Ia menandatangani kontrak kerja berbahasa Khmer yang diterjemahkan oleh seorang China-Indonesia. Isinya: ia telah “dibeli” seharga USD 2.000, dengan masa kerja delapan bulan, jam kerja 15 jam sehari (08.00–23.00), dua kali istirahat makan, dan gaji Rp12 juta per bulan jika memenuhi target.
“Kalau penghasilan bulanan minimal Rp75 juta, saya dapat bonus. Tapi kalau tidak, gaji saya dipotong. Bahkan kalau telat satu menit, dipotong USD 10,” jelas Dion.
Ia diperintahkan menyamar sebagai perempuan, membuat tiga akun Facebook dan tiga akun Instagram. Akun-akun itu diisi dengan foto-foto dari Pinterest, dirancang agar tampak nyata.
Hari Kedua
Dion masih diminta merapikan akun palsunya. Kondisinya semakin drop, demam makin parah. Ia tidak diberi obat, tetap dipaksa bekerja sesuai SOP.
Hari Ketiga
Kelelahan dan kurang makan membuat Dion tak bertenaga. “Tidurnya delapan orang satu kamar, makan masakan Vietnam—nasinya keras, lauknya bau ikan busuk. Sekali makan daging, dikasih daging babi,” ujarnya dengan nada tinggi.
Tugas Dion: berteman dengan 100 akun pria Indonesia berusia 31 tahun ke atas, lalu merayu mereka agar mau berinvestasi atau mengirim uang.
Hari Keempat
Dion terlalu lemah untuk bekerja. Ia diseret ke kursi oleh bodyguard. Jika berhenti mengetik, ia ditampar dari belakang. Penyiksaan berlangsung sepanjang hari.
Hari Kelima
Dion muntah-muntah di depan komputer. Ia tetap dipaksa duduk, bahkan diinfus sambil bekerja. “Tiga botol infus, Pak. Jantungku hampir meledak karena tetesannya deras sekali,” katanya. Jarum infus ketiga ia cabut sendiri, darah mengucur deras. Ia diseret kembali ke kamar.
Melihat penderitaan Dion, delapan teman sekamarnya bertekad melarikan diri. Mereka menghubungi KBRI Phnom Penh dan menyusun rencana semalaman.
Hari Keenam
Enam orang dijemput oleh polisi imigrasi Kamboja, bukan Dion. Ia masih terbaring lemah di kamar, sementara yang lain bekerja.
Hari Ketujuh
Akibat penjemputan itu, semua pekerja diinterogasi. HP mereka disita, semua kontak dihapus. Dion dituduh sebagai provokator. Saat ketahuan menelepon KBRI, ia dikhianati oleh salah satu dari delapan teman sekamarnya.
Mereka dikumpulkan dalam satu kamar, diinterogasi, dan disiksa. “Kami disuruh berlutut, Pak. Ditinju, dipukul, ditendang, dan dipijak-pijak oleh tukang pukul orang China,” ungkap Dion.
III
Penyiksaan paling menyakitkan yang dialami Dion terjadi saat tubuhnya dialiri listrik. “Dilistrik, Pak. Kayak di film-film itu. Sakit kali, sampai mau mati menahannya. Otakku kayak meleleh,” kenang Dion, menggambarkan kekejaman yang dialaminya di perusahaan scammer di Bavet, Kamboja.
Setelah penyiksaan itu, Dion dan delapan rekannya dikurung dalam satu kamar. Mereka tak lagi bekerja. Monitor, keyboard, dan sekat-sekat meja yang dulu menjadi rutinitas harian kini hanya menjadi simbol neraka ber-AC yang mereka tinggali.
“Jumlah pekerjanya ratusan, Pak. Semuanya orang Indonesia,” ujar Dion. Mereka terjebak: paspor ditahan, uang tak ada, kontak dengan keluarga terputus, dan izin tinggal sudah kadaluarsa. Sebagian tetap bekerja karena terpaksa, demi memenuhi target Rp75 juta sebulan dari hasil menipu sesama warga Indonesia melalui media sosial.
Dion dan tujuh rekannya dianggap “barang bekas”—tak lagi menghasilkan uang bagi perusahaan. Mereka dijual murah kepada agen lain. Seorang agen asal Ambon membeli mereka dan membawa ke homestay di Bavet, tak jauh dari gedung “One Peace” tempat mereka sebelumnya disekap.
Harga Tebusan dan Tekad Melarikan Diri
Ponsel mereka dikembalikan. Mereka diminta menelepon keluarga masing-masing. Agen mematok harga tebusan Rp35 juta per orang. Jika tak dibayar, mereka akan dijual lagi ke perusahaan scammer lain.
Dion pasrah. Ibunya berusaha mencari uang, tapi jumlahnya mustahil. Ia memutuskan untuk melarikan diri ke KBRI Phnom Penh. Namun, bagaimana caranya? Ia tak punya uang, paspor ditahan, tak tahu arah, dan tak menguasai bahasa lokal maupun Inggris.
Doa Ibu di Malam Takbiran
Di malam takbiran Idul Fitri 1 Syawal 1445 H, Dion hanya berharap pada doa ibunya. “Semoga doa ibu saya diijabah Allah dan saya bisa kembali pulang ke pelukannya,” ucap Dion lirih.
Esok paginya, keajaiban terjadi. Dion dan rekan-rekannya diminta bersiap berangkat ke Phnom Penh. “Alhamdulillah… Doa ibu kami menembus langit, Pak,” kata Dion.
Di hotel Phnom Penh, Dion dan dua temannya (dari Medan Tembung dan Tangerang) ditempatkan di lantai tiga. Hanya Dion dan anak Medan Tembung yang berani merencanakan pelarian.
Pelarian di Hari Raya
Tepat pukul 04.30 waktu Phnom Penh, Dion dan temannya melarikan diri. Hanya berbekal pakaian di badan, sepatu, HP, dan charger. Dengan bantuan Google Maps, mereka mencari arah menuju KBRI.
Setelah satu jam berlari dan berjalan, mereka menghentikan tuk-tuk dan menunjukkan lokasi KBRI. Supir tuk-tuk menolak dibayar dengan HP, tapi akhirnya memahami kondisi mereka dan mengantar tanpa meminta bayaran.
KBRI sedang libur. Hanya dua satpam berjaga. Dion dan temannya diizinkan masuk. Mereka kini berada di zona aman—wilayah diplomatik yang setara dengan tanah Indonesia.
Perlindungan dan Kepulangan
Dion dan temannya diinapkan oleh staf KBRI di hotel rahasia. Setelah libur lebaran, mereka mengurus kehilangan paspor ke polisi Kamboja dan membuat Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP). Mereka juga membayar denda overstay sebesar Rp7 juta, termasuk biaya makan, penginapan, dan tiket pulang—semuanya dikirim dari kampung halaman.
Selama dua minggu, mereka hidup dalam bayang-bayang ancaman. Agen yang membawa mereka ke Phnom Penh masih mengintai. “Kami lebih suka tidur di kursi besi KBRI daripada di hotel,” ujar Dion, yang pernah memergoki agen itu di seberang hotel.
Akhir Pelarian
Selasa, 30 April 2024, Dion dan temannya terbang dari Bandara Phnom Penh dengan AirAsia, transit di Kuala Lumpur, dan akhirnya mendarat di Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Indonesia.
Disclaimer: Kisah ini ditulis berdasarkan penuturan Dion (nama samaran). Redaksi tidak bermaksud mendramatisir keadaan. Tulisan ini diangkat dari kisah nyata yang lebih sadis dari yang bisa digambarkan. Semoga menjadi pembelajaran bagi pembaca: jangan tergoda gaji besar di luar negeri jika melalui jalur tidak resmi. Teman Dion, X dan Y, masih berada di Kamboja. Nasib mereka belum diketahui hingga kini. (Edi Prayitno)