MEDIA DIALOG NEWS – Kebebasan berpendapat dan keterbukaan informasi adalah fondasi demokrasi yang dijamin UUD 1945 dan dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak ini bukan hadiah, melainkan amanah konstitusional yang harus dihormati oleh setiap pejabat publik.
Fenomena pejabat yang alergi terhadap kritik adalah penyakit laten demokrasi. Mereka yang menutup diri dari koreksi publik sesungguhnya sedang meruntuhkan legitimasi jabatan yang mereka emban. Kritik bukan ancaman—kritik adalah alat koreksi yang memastikan kekuasaan tetap berpijak pada kepentingan rakyat. Pejabat yang menghindar dari kritik sama saja menutup pintu partisipasi publik, mematikan dialog, dan melemahkan akuntabilitas.
Indonesia juga terikat kewajiban internasional melalui Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 19 ICCPR menegaskan hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat, mencari, menerima, dan menyebarkan informasi tanpa takut akan pembalasan. Pembatasan hanya sah jika diatur oleh hukum dan diperlukan untuk tujuan yang jelas, seperti melindungi hak orang lain atau keamanan nasional—bukan untuk melindungi ego kekuasaan.
Redaksi memandang, pejabat publik wajib membuka diri terhadap kritik sebagai bagian dari tanggung jawab jabatan. Pemerintah harus menjamin ruang aman bagi warga negara dan media untuk mengawasi jalannya kekuasaan. Upaya membungkam kritik—baik secara langsung maupun terselubung—adalah bentuk kemunduran demokrasi yang tidak dapat ditoleransi.
Budaya anti-kritik tidak hanya menggerus kepercayaan publik, tetapi juga menciptakan iklim ketakutan yang mematikan kreativitas warga negara. Dalam jangka panjang, masyarakat yang dibungkam akan kehilangan keberanian untuk bersuara, dan negara akan kehilangan sumber gagasan segar untuk memperbaiki kebijakan. Pejabat publik yang membatasi ruang kritik sesungguhnya sedang mempersempit pandangan sendiri, mengabaikan keberagaman aspirasi rakyat yang menjadi kekuatan bangsa.
Redaksi mengingatkan, sejarah membuktikan bahwa pemerintahan yang membungkam kritik pada akhirnya rapuh dan kehilangan legitimasi. Transparansi bukan sekadar pilihan moral, melainkan kebutuhan strategis untuk memastikan setiap kebijakan mendapat legitimasi rakyat. Sebaliknya, menolak kritik sama artinya mengundang lahirnya jarak, kecurigaan, dan potensi konflik antara pemerintah dan warganya.
Demokrasi yang sehat hanya mungkin terbangun di atas keterbukaan, transparansi, dan penghormatan terhadap suara rakyat. Pejabat publik yang menolak kritik sedang berjalan melawan arus sejarah, dan pada akhirnya melawan konstitusi yang mereka sumpah untuk dijunjung tinggi.
Redaksi menyerukan agar setiap pemangku kekuasaan mengubah cara pandang: dari melihat kritik sebagai ancaman, menjadi menganggapnya sebagai modal penting untuk membangun negeri.
Kritik adalah oksigen demokrasi. Pejabat yang menutup ruang kritik sama saja mencekik hak rakyat untuk bernapas dalam kebebasan. (Redaksi)