MEDIA DIALOG NEWS, Kisaran — Lembaga Swadaya Masyarakat Pemuda Mandiri Peduli Rakyat Indonesia (LSM PMPRI) Kabupaten Asahan mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera menyelidiki dugaan pemaksaan pembelian barang ke sekolah-sekolah SD dan SMP se-Kabupaten Asahan. Barang yang dimaksud berupa pembersih lantai dan banner berisi lima visi dan misi Bupati dan Wakil Bupati Asahan, yang diduga dibayar menggunakan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Ketua LSM PMPRI Asahan, Hendra Syahputra SP, menyebut praktik tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan dana BOS yang seharusnya digunakan untuk kepentingan langsung siswa.
“Barang-barang itu tidak ada manfaatnya bagi proses belajar mengajar. Ini akal-akalan oknum untuk merampok dana BOS milik pelajar tak mampu,” tegas Hendra kepada wartawan, Selasa (30/9) di Kisaran.
Dugaan Pemaksaan dan Harga Tidak Wajar
Hendra menambahkan, penjualan barang dilakukan secara paksa kepada para kepala sekolah SD dan SMP, dengan harga yang tidak sesuai harga pasar.
“Ini korupsi berjemaah. Barang dijual mahal, tidak berguna bagi siswa, dan dipaksakan kepada kepala sekolah. Polisi dan Kejaksaan harus segera mengusut dugaan penjualan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM),” ujarnya.
Dinas Pendidikan Membantah Terlibat
Plt Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Asahan, Musa Al Bakri, saat dikonfirmasi wartawan melalui WhatsApp pada Senin (29/9) pukul 14.00 WIB, mengaku tidak mengetahui adanya penjualan barang tersebut ke sekolah-sekolah.
“Saya tidak tahu ada pihak yang memasukkan alat pembersih lantai dan banner visi misi ke sekolah. Kalau ada yang mengaku atas izin saya, itu tidak benar. Saya tidak pernah menyuruh siapa pun,” tegas Musa.
Pantauan Lapangan
Pantauan wartawan menunjukkan bahwa di sejumlah sekolah telah beredar produk pembersih lantai merek Karbol Sereh (warna putih) dan ANS (warna merah), serta banner berisi lima visi dan misi kepala daerah.
LSM PMPRI meminta agar APH tidak menunda penyelidikan dan segera menindak tegas oknum yang diduga terlibat. Mereka menilai praktik ini sebagai bentuk pelecehan terhadap hak pendidikan anak-anak dan penyalahgunaan anggaran publik. (Hen – Red)