MEDIA DIALOG NEWS, Kisaran — Proses hukum terhadap Amir Simatupang, terdakwa dalam perkara pidana khusus lingkungan hidup, memasuki babak baru setelah Kejaksaan Negeri Asahan resmi mengajukan permintaan banding atas putusan Pengadilan Negeri Kisaran yang dibacakan pada 28 Juli 2025. Permintaan banding tersebut tercatat dalam Relaas Pemberitahuan Permintaan Banding bernomor 168/Pid.Sus-LH/2025/PN Kis, yang diterbitkan pada 5 Agustus 2025 dan ditandatangani oleh Panitera Pengganti, Aser Hutabarat.
Banding diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Era Husni Thamrin, S.H., pada 4 Agustus 2025, sebagai bentuk keberatan terhadap amar putusan yang dinilai belum mencerminkan keadilan substantif dalam penegakan hukum lingkungan. Meski isi putusan belum dipublikasikan secara luas, sumber internal menyebutkan bahwa jaksa mempertanyakan pertimbangan hakim terkait unsur kerugian ekologis dan tanggung jawab pidana individu.
Pada hari yang sama, Pengadilan Negeri Kisaran juga menerbitkan Relaas Pemberitahuan Mempelajari Berkas Banding, yang ditujukan kepada tim penasihat hukum terdakwa dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Cakrawala Nusantara Indonesia (YLBHI-CNI). Tim pembela yang terdiri dari Khairul Abdi, S.H., M.H., Andi Ratmaja, S.H., Syariban Lubis, S.H., Asrida Sitorus, S.H., Abdurrahman Ridho Sitorus, S.H., dan Sartika Situmorang, S.H., diberi waktu tujuh hari untuk mempelajari berkas perkara sebelum proses berlanjut ke Pengadilan Tinggi Medan.
Dalam pernyataan singkat yang disampaikan kepada media, Khairul Abdi menyatakan, “Kami menghormati hak jaksa untuk mengajukan banding, namun kami juga siap membuktikan bahwa putusan PN Kisaran telah mempertimbangkan fakta-fakta hukum secara objektif. Kami akan mengkaji berkas dengan cermat dan menyusun kontra-argumentasi yang kuat di tingkat banding.”
Amir Simatupang, seorang petani berusia 45 tahun yang berdomisili di Dusun II, Desa Maranti, Kecamatan Na IX-X, Kabupaten Labuhan Batu Utara, didakwa atas dugaan pelanggaran terhadap regulasi perlindungan lingkungan. Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut isu kerusakan lingkungan yang berdampak pada masyarakat lokal dan ekosistem sekitar.
Secara hukum, proses banding membuka ruang bagi evaluasi terhadap putusan tingkat pertama, baik dari sisi penerapan norma pidana maupun penilaian terhadap alat bukti. Menurut pengamat hukum pidana lingkungan, banding dalam perkara seperti ini sering kali menjadi ajang pembuktian apakah sistem peradilan mampu menyeimbangkan antara kepentingan penegakan hukum dan hak-hak warga negara.
Dengan berjalannya proses banding, publik menantikan transparansi dan akuntabilitas dari seluruh pihak yang terlibat. Perkara ini tidak hanya menguji integritas sistem hukum, tetapi juga menjadi cerminan komitmen negara dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. (Edi Prayitno)