MEDIA DIALOG NEWS, Jakarta – Muhammad Fithrat Irfan mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK RI) didampingi oleh kuasa hukumnya, Aziz Yanuar, untuk menindaklanjuti laporan kasus dugaan suap dalam pemilihan pimpinan DPD RI dan Wakil Ketua MPR dari unsur DPD RI, yang diduga melibatkan 95 senator.
Laporan ini sebelumnya telah mendapat surat balasan dari Dewan Pengawas KPK, yang meminta Irfan berkoordinasi langsung dengan Deputi Bidang Informasi dan Data guna mengetahui perkembangan penanganan kasus.
Namun, setelah lebih dari tiga jam menunggu, Irfan dan tim hukumnya malah diarahkan kembali ke bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas). Aziz Yanuar menilai hal ini sebagai bentuk birokrasi berbelit di KPK, yang bertentangan dengan komitmen lembaga dalam penegakan hukum.
“Jika masyarakat diminta ikut berkontribusi dalam pemberantasan korupsi, tapi saat melapor justru dipingpong tanpa kejelasan, maka slogan KPK hanya menjadi kata-kata kosong,” tegasnya.
Tuntutan Komitmen Presiden Prabowo
Irfan, yang telah melaporkan kasus ini sejak 6 Desember 2024, menyinggung pidato Presiden Prabowo Subianto pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni lalu, di mana Presiden menyatakan dukungan penuh terhadap peran anak muda dalam pemberantasan korupsi.
“Pak Prabowo bilang tidak melihat partai, keluarga, atau suku. Hari ini saya menagih komitmen itu. Saya datang sebagai anak muda yang berjuang atas nama rakyat,” ucap Irfan lantang sambil menunjukkan foto Presiden Prabowo Subianto di depan Gedung KPK.
Selain itu, Irfan menyebutkan adanya saksi baru yang siap memberikan keterangan, termasuk staf ahli dari daerah yang menyaksikan langsung proses dugaan suap tersebut.
Menurutnya, praktik politik uang dalam pemilihan pimpinan DPD RI mencapai angka mencengangkan, dengan dugaan aliran dana sebagai berikut:
- USD 8.000 dan SGD 10.000 diberikan kepada masing-masing dari 95 senator yang terlibat.
- SGD 100.000 (sekitar Rp1 miliar) diberikan kepada kandidat dengan suara kuat di putaran pertama, sebagai bentuk “barter suara” untuk memenangkan pasangan tertentu di putaran kedua.
“Ini adalah operasi politik uang besar-besaran. Ada koper berisi ribuan dolar Singapura untuk memenangkan anak seorang menteri yang saat ini masih menjabat,” ungkap Irfan.
Ultimatum ke KPK dan Pemerintah
Irfan memberikan ultimatum bahwa jika KPK tidak menunjukkan netralitas dan tidak segera memproses laporan ini, maka ia akan membuka seluruh bukti ke publik, termasuk rekaman yang mengungkap keterlibatan anak menteri dalam dugaan praktik politik uang.
“Pak Presiden harus mulai dari rumah sendiri. Kalau tidak ada tindakan, saya akan buka semuanya. Saya tidak takut dengan ancaman. Saya berjuang demi rakyat,” tegasnya.
Menurut Irfan, korupsi dalam lingkaran pejabat telah menyebabkan kerugian besar bagi rakyat, termasuk meningkatnya angka PHK dan sulitnya generasi muda mendapatkan pekerjaan.
“Saya tidak membawa kepentingan politik. Ini murni panggilan nurani sebagai anak bangsa,” tutupnya. (Dion, Red)